Ini adalah kisah seorang kawanku, sebut saja namanya Ayu. Aku dikenalkan oleh seseorang yang merasa kami memiliki satu irisan yang sama yaitu buku. Sebagai generasi milineal, aku otomatis menyimak akun instagramnya terlebih dahulu sebagai antisipasi bahan obrolan. Pada biografi di akun instagramnya saat itu (2020), ia menulis satu kalimat singkat: Ibu dua anak yang gemar membaca. Setelah menggulir layar telepon pintar, memandangi unggahan demi unggahan di akun instagramnya, aku yakin kami bisa nyambung.
Beranda instagramnya dipenuhi dengan foto buku-buku sebagai mana definisi bookstagram: an Instagram account dedicated to books. Ada koleksi kami yang sama, ada buku yang masuk daftar keinginanku tapi belum sempat kubeli, ada buku yang penulisnya ku ketahui namun baru tau jika ada bukunya yang berjudul (misalnya) X , dan ada juga judul buku atau penulis yang tak ku ketahui sama sekali. Secara visual, setiap foto buku yang diunggahnya memiliki nilai estetika dan diulas dengan singkat menggunakan bahasa yang sederhana. Akun instagramnya memiliki karakter “enak dilihat dan enak dibaca”.
Pertemanan kami dimulai pada tahun baru 2020. Itu kali pertama kami bertemu, ngobrol, dan saling meminjam buku. Benar saja, sebagai sesama pembaca obrolan kami bisa nyambung. Bagiku, salah satu hal yang mengesankan dari Ayu adalah sekalipun ia merupakan ibu rumah tangga yang berperan mengurus pekerjaan domestik, suami, dan dua anak yang masih balita, ia bisa meluangkan waktu untuk membaca buku. Katanya, ia mencuri waktu membaca di saat kedua balitanya tengah tidur siang atau membaca saat malam telah larut. Target bacaan per tahunnya tak pernah sedikit, ia selalu memasang target 50 judul buku untuk dibaca. Baginya, membaca buku adalah sebuah kenikmatan di sela-sela rutinitas hariannya.
Selain aktivitas Ayu yang sudah kujelaskan di atas, Ayu juga suka mengikuti reading challenge, kuis dan kompetisi foto/video yang diselenggarakan oleh penerbit/toko buku. Dengan kreativitasnya menata buku dan property untuk lomba foto, teknik pengambilan gambar sederhana namun indah, suaranya yang merdu ketika mengisi narasi video, serta ulasan yang sederhana, ia kerap kali memenangi kompetisi berhadiah buku maupun voucher belanja. Namanya pun semakin dikenal pengguna instagram lain karena nama akunnya sering terpampang di unggahan penerbit atau toko buku.
Kira-kira di akhir tahun 2021, Ayu mulai menerima kemitraan berbayar untuk mengulas buku di akun instagram pribadinya, baik dari sang penulis maupun dari penerbit. Kemitraan berbayar adalah salah satu metode promosi dan pemasaran buku masa kini yang mengandalkan akun-akun instagram dengan basis massa pengikut yang banyak Menurutku hal itu tentu disebabkan oleh estetika galeri instagram, ulasannya yang renyah dan konsistennya membuat konten bertema buku.. Sejak saat itu frekuensi Ayu mengunggah ulasan buku di akun instagramnya jadi semakin sering. Penulis, penerbit, hingga genrenya pun semakin beragam, sampai dalam hati aku berkomentar, ”Sepertinya ini bukan tipe buku yang Ayu sukai atau ia mau baca.”
Tak lama berselang, setelah pengikut Ayu sudah menembus angka 6.000, aku berkesempatan untuk mengunjunginya untuk bertukar kabar Aku tidak terkejut ketika dia menunjukkan setumpuk buku yang harus selesai ia baca sekaligus harus diulas dalam pekan tersebut dengan wajah rungsing. Satu per satu ia mengomentari buku yang sudah ia baca,”Yang ini terlalu teenlit banget, yang ini sebenarnya bagus tapi eksekusinya kurang, yang ini bagus tapi harganya lumayan (siapa nanti yang mau beli?), yang ini… aduh aku ga bisa berkata-kata. Kalau yang ini nggak banget di aku. Iya sih fee-nya lumayan, tapi kadang aku merasa tersiksa.”
Menjadi bookstagram memang memiliki dua sisi. Di satu sisi, bookstagram dapat memperoleh buku secara gratis, mendapat keuntungan finansial, menambah basis massa pengikut, dan jejaring perbukuan/literasi. Di sisi lain, bookstagram bisa kehilangan kenikmatan dalam membaca karena “dipaksa” membaca buku yang belum tentu disukainya, harus berkejaran dengan tenggat waktu mengunggah ulasan, serta membuat visual yang apik supaya pengikutnya tergerak unutuk membeli buku yang dipromosikan.
Pernah suatu hari Ayu mengeluh karena buku yang harus diulas menurutnya kurang bermutu, lalu ditanggapi oleh anaknya yang baru saja masuk taman kanak-kanak,”Udah, Ibuk ngga usah baca buku itu nanti Ibuk nangis.”
Kini Ayu sedang hiatus dari aktivitas kemitraan berbayar dan menikmati waktu membaca buku bersama kedua anaknya.
Be the first to reply