Jumat, 3 November 2023
Hari ini aku sudah bertekad untuk menonton film Budi Pekerti besutan Wregas Bhanuteja di CGV Cinema Blitar Square pukul 18.55 WIB. Jarak dari rumahku di Wlingi menuju Blitar Square kira-kira 21 kilometer atau biasa ditempuh dalam 30 menit dengan mengendarai sepeda motor. Aku pun sudah memiliki janji temu dengan seorang kawanku yang juga akan menonton film tersebut. Kami berharap bisa bercengkrama sejenak sebelum nonton sembari menyesap kopi di salah satu kedai favorit kami.
Hujan deras mengguyur area Wlingi dan sebagian wilayah Blitar sedari Jumat siang. Aku tak gentar pada air yang turun dari langit, tekadku sudah bulat. Sekitar pukul 16.00 hujan terlihat benar-benar mereda, dan matahari sore menampakkan sinarnya. Aku bergegas menuju kota agar tidak tergesa mengambil jeda antara salat maghrib dan jadwal tayang yang kuinginkan.
Mulanya kukira perjalanan ini akan jadi perjalanan yang santai. Jalanan cukup lengang setelah diguyur hujan. Dalam batinku, berkendara di kecepatan 50 kilometer per jam sepertinya menyenangkan. Semua terasa normal sampai aku mendapati setiap gang di tepi jalan raya Wlingi-Blitar dijaga setidaknya seorang polisi. Hal-hal seperti ini biasanya terjadi bila ada rombongan kendaraan “orang penting” yang akan melintas. Baru sekitar 10 menit berkendara, aku dan kendaraan-kendaraan di belakangku diminta menepi hingga jalanan benar-benar steril. Terdengar polisi tersebut mengimbau para pengendara untuk menepikan kendaraannya hingga turun dari aspal jalan, lantas berseru ,”Awas, minggir dulu. Panjang ini rombongannya!”
Mendengar hal itu aku memilih menepikan motor, mematikan mesin, lantas menengok ke arah barat. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya terdengar sirine khas yang biasa terdengar ketika kendaraan prioritas seperti mobil pemadam kebakaran dan ambulans. Satu mobil polisi lewat dengan sirine meraung-raung, disusul beberapa motor polisi yang berkendara di tengah jalan, kemudian muncullah mobil-mobil mewah dengan plat luar kota. Ku amati satu per satu mobil yang lewat hingga mataku menangkap salah satu mobil mewah dengan nomor pelat RI 6. Lebih dari selusin mobil mewah menjadi bagian dari rombongan ini. Aku pun sampai punya waktu untuk melakukan pencarian di google: Siapa pemilik pelat R1 6?
Dalam perjalananku, setidaknya aku diberhentikan tiga sampai empat kali dengan durasi tunggu sekitar tiga hingga empat menit. Aku pun tiba di rubanah Blitar Square menjelang waktu salat magrib. Setidaknya aku masih punya waktu sekitar satu setengah jam untuk mengambil jeda sejenak untuk salat magrib, berbelanja, dan membeli tiket film Budi Pekerti. Rencana ngopi-ngopi dengan temanku? Tentu saja tak cukup waktu.
Bagiku, Budi Pekerti adalah sebuah film yang sangat luar biasa dari Wregas Bhanuteja. Beragam isu dieksplorasi dengan cerdas. Akting pemain, sinematografi, dan permainan audio pun mendukung keseluruhan film ini. Berawal dari premis “antre”, film ini bergulir dengan indah dan menaikturunkan emosiku yang dari awal menonton sudah tidak stabil. Film ini benar-benar mempertontonkan apa itu “budi pekerti”. Menjelang akhir film aku tidak kuat menahan tangis melihat Bu Prani yang demikian teguh menjunjung integritas-nya sebagai manusia.
Sepulang menonton film ini, aku memutuskan menenggak obat tidur dan mood stabilizer yang diresepkan oleh psikiaterku dengan ketentuan aku sulit tidur dan banyak pikiran. Biasanya aku baru memutuskan untuk mengonsumsi obat tersebut jika hingga tengah malam aku tak kunjung tidur. Namun kali ini lain. Mood-ku sudah berantakan sejak berjumpa rombongan RI 6 yang mengendarai mobil-mobil mewah melenggang dengan nyaman di jalanan. Terbayang apa jadinya jika aku tadi sedang mengejar jam tayang namun harus terhenti di jalanan sampai hampir setengah jam? Aku tidak yakin akan bisa memahami keseluruhan film jika sudah ketinggalan premis awal. Artinya aku harus menunggu jadwal tayang selanjutnya dan menunggu selama dua jam. Pastinya ini juga akan berimbas pada jam pulangku yang akan semakin larut dengan risiko bahaya malam yang mengancam.
Mungkin aku hanya satu orang yang akan merasa dirugikan bila ketinggalan jadwal tayang sebuah film, tapi, para penonton Budi Pekerti pasti tahu betapa kesalnya menjadi Bu Prani.
Be the first to reply