Penghujung Juni: Seratus Delapan Puluh Satu Hari

Pagi tadi matahari naik sepenggalah. Sinarnya benderang, namun angin dingin berembus sepanjang hari. Kemarau telah datang (?) Atau masih bisakah ini disebut kemarau jika di sepanjang Juni air hujan kerap menghampiri? Oh, Pak Sapardi, rintik rindu tak dirahasiakan lagi. Arah musim pun tak bisa ditebak lagi: hendak menanam padi atau menggembala biri-biri.

Seperti biasa, setelah dua belas jam bekerja di khatulistiwa, matahari kembali tenggelam di batas pandang dengan cantiknya. Sebelum gelap mendekap, langit berubah warna dari biru muda menjadi jingga dan lila, Ingin aku menyebutnya,”Langit sewarna senja yang dicuri Sukab untuk Alina”. Tapi aku sadar, bahwa aku bukan Seno Gumira Ajidarma.

Kamis, 30 Juni. Tepat enam bulan tahun 2022 berjalan. Tengah tahun rasa akhir tahun, kata sebagian orang. Sudah 181 hari berlalu begitu saja tanpa aku benar-benar menghidupi hari-hari itu. Mungkin setelah ini aku akan menandai hari demi hari di kalender meja, agar aku tahu berapa hari telah berlalu dan berapa hari masih tersisa.

Entah kenapa, di hari terakhir bulan Juni ini berkelebat berbagai angan, nama, dan peristiwa. Tentang menjadi dewasa, hambangun praja, mengawinkan anak ideologisku dan anak ideologis dia, urusan medis yang bisa datang tiba-tiba, ganguan tidur karena otak terus bekerja, masalah sampah yang tak ditangani paripurna, produk lokal kualitas global, keponakan-keponakanku yang beranjak remaja, kuliner yang diklaim agamanya, film keluarga yang menyesakkan dada, harum nama anak pejabat yang kembali pada Sang Mahakuasa, murid-muridku dengan perkembangan mereka, kejutan dari tuhan yang tak disangka, pelajaran Bahasa Belanda yang di situ saja, legalisasi ganja, kebijakan aneh penguasa, hingga premis “Semua Bisa Kena”.

Otakku seakan tak bisa kupaksa berhenti bekerja ataukah aku sedang dalam proses menjadi Annas Karyadi (Annas: Manusia, Karyadi: berkarya) yang sejati? Lima bulan terakhir aku masih kelimpungan membagi porsi waktu untuk membaca dan menulis karena adaptasi mengajari anak-anak pra sekolah perihal literasi. Hayal babu masih banyak yang menunggu sedang uang di saku masih saja segitu. Nyala api kompetisi sering dikalahkan hasrat prokrastinasi. Mau sampai kapan terus seperti ini? Mungkin sudah saatnya untuk sedikit lebih keras pada diri sendiri.

Sudut kerja kamar, 21.08 WIB

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *