Pemalas

Awal Februari lalu aku meminjam buku pada kawan dari kakakku, namanya Dyah Ayu Wyat Ratitya, aku memanggilnya Mbak Dyah. Ia adalah seorang ibu dua anak yang hobi membaca, setidaknya begitulah yang ia tulis pada bio instagramnya. Meski ia lebih banyak membaca tulisan penulis luar sedangkan aku lebih banyak membaca tulisan penulis Indonesia, setidaknya kami punya kesamaan: gemar membaca.

Januari lalu kami terhubung dengan bacaan yang sama, Mengapa Aku Harus Membaca? karya Abinaya Ghina Jamela. Berawal dari situ kami saling berbagi bacaan, mendiskusikan bacaan yang sudah kami dan Abinaya sama-sama baca, lalu saling merekomendasikan bacaan. Di awal perjumpaan aku membawakannya empat judul buku yaitu Rumah Kertas, Kenang-Kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub, Perempuan di Titik Nol dan hantu, presiden dan buku puisi kesedihan. Sebagai gantinya aku meminjam Tottoo-chan Gadis Cilik di Jendela dan Matilda. Kedua buku tersebut kuselesaikan dalam waktu yang cukup singkat, tak lupa aku mengulas kedua buku tersebut di laman pribadiku.

Entah kenapa hal yang berbeda terjadi di bulan Februari. Di bulan ini aku meminjam Animal Farm dan What I Talk About When I Talk About Running. Kedua buku itu cukup tipis, namun niatku untuk membaca tak kunjung muncul hingga baru-baru ini, pertengahan bulan April. Nyatanya menyelesaikan masing-masing buku itu aku hanya memerlukan waktu seharian saja, bahkan kurang dari sehari. Rasanya seperti mengalami tsundoku lagi. Aku benar-benar menyesali kenapa aku baru sekarang membacanya. Kedua buku itu seru untuk dibaca. Seharusnya aku sekarang sedang bertualang dengan buku-buku lain yang tak kalah menarik, termasuk koleksi pribadiku yang belum terjamah. Betapa bodohnya aku, punya banyak waktu untuk membaca namun malah menyianyiakannya.

Ini kali pertama aku membaca tulisan Orwell dan Murakami. Setelah membaca Animal Farm aku jadi tertarik untuk membaca karya-karyanya yang lain. Semoga saja kualitas terjemahannya sebaik terjemahan Bakdi Soemanto. Lalu untuk Murakami, berhubung yang kubaca adalah sebuah memoar, aku cukup puas membaca tulisannya. Aku suka dengan caranya menarasikan sesuatu dan terasa sangat filosofis. Rasanya aku jadi penasaran dengan Norwegian Wood.

Sekarang aku jadi tak sabar untuk segera mengembalikan buku dan membaca karya penulis lainnya.

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *