Belajar Kemanusiaan dari Beruang

Seekor beruang kutub di kebun binatang Valle Central ditembak mati di kandangnya. Pelaku penembakan itu adalah penjaga kandangnya sendiri, Lisandro Espinoza. Alasan Lisandro Espinoza -si penjaga pengganti- menembak binatang itu cukup aneh, ia merasa binatang itu mengolok-oloknya setiap kali ia memasuki kandang untuk menjalankan tugas hariannya. Entah apa yang merasuki Lisandro Espinoza, sebab kebanyakan pengunjung suka kepada beruang ini karena parasnya yang indah dan tindak tanduknya yang ramah. Seorang gadis cilik berusia dua belas tahun bahkan menangis sesenggukan sambil menggenggam jeruji kandang. Ia menyatakan sayang sekali kepada si beruang yang lebih baik ketimbang kebanyakan orang.

Sosok beruang kutub itu memang telah pergi, namun ia tidak pergi begitu saja. Kepergiannya meninggalkan kenang-kenangan. Mungkin kenang-kenangan ini akan terasa seperti dongeng yang ganjil, namun dibalik kisah-kisah yang dituturkan si beruang kutub terselip petuah yang patut untuk direnungkan.

Beruang kutub ini dinamai Baltazar, seperti si hitam dari tiga orang majus saat Natal karena ia amit-amit putihnya. Lima belas tahun lalu ia ditangkap di Kutub Utara dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Christian Warrington. Awalnya ia merasa sangat menderita, dijauhkan dari tempat asalnya bertepatan ketika ia sedang menanggung rasa kasmaran pada seekor beruang betina. Ia merasakan betapa kejamnya manusia yang tega mengusik kehidupan kaum yang begitu pendamai. Tak hanya beruang kutub, manusia juga mengusik kehidupan anjing laut.

Baltazar pun dibawa ke Valle Central. Tak disangka, dari balik jerujinya di kebun binatang, ia menemukan sebuah dunia yang serba baru, dengan pesona-pesona dan cacat-cacatnya. Mulanya Baltazar dipenuhi dengan rasa takut terhadap kekejaman manusia. Namun yang mengejutkan, rasa takut itu ternyata bertimbal balik. Baltazar takut pada keberadaan manusia, dan manusia pun menunjukkan rasa takutnya kepada Baltazar.

Mulanya sulit bagi Baltazar untuk mengerti akan kehidupan yang dijalaninya, namun suatu hari ia mulai bisa memahami dan menyimpulkan watak sejati manusia-manusia yang ada di sekitarnya. Baru saat itu rasa takutnya berganti dengan pemahaman dan kemudian dengan simpati. Ia merasa bahwa manusia sepertinya memendam paduan aneh antara kebahagiaan dan kesedihan. Di dalam kandangnya Baltazar menemukan kesamaan antara beruang kutub dengan manusia.

Sama seperti di kutub, manusia juga memiliki anak kecil. Mereka dimanjakan orang tuanya sebagaimana induk beruang memanjakan anaknya. Sebagian dari anak-anak itu melemparkan barang dan makanan ke kandang Baltazar. Di satu sisi Baltazar seakan mendapat isyarat persahabatan dari anak-anak manusia, namun di sisi lain Baltazar merasa bingung dengan kekejian yang pernah ia rasakan dari manusia. Bagi Baltazar, anak-anak adalah bagian paling indah dari umat manusia. Mereka semua memancarkan rasa dahaga akan kasih sayang dan sejenis perlindungan yang tak mungkin bisa diabaikan oleh seekor beruang.

Suatu hari di musim dingin, ada seorang anak perempuan berpakaian compang-camping mengunjungi kandangnya. Kemunculan anak perempuan itu membuat Baltazar mengerti bahwa anak-anak miskin membangkitkan perasaan welas asih dan bela rasa yang paling indah di dalam jiwa. Ia melihat tragedi kemanusiaan dalam diri mereka dengan jelas. Lewat raut wajah mereka yang tak berdaya, Baltazar bisa melihat dunia ganjil penuh egoisme dan kekejian mengelilingi mereka. Hal itu membuat Baltazar bertanya-tanya. Mengapa ada manusia yang punya apa saja dan ada manusia yang tidak punya apa-apa? Mengapa ada wajah-wajah yang mencerminkan kegembiraan hidup sedangkan wajah lainnya hanya mendamba perubahan nasib?

Baltazar dan anak perempuan itu saling menatap, mereka berbicara dalam diam. Dalam percakapan bisu itu Baltazar terkejut mengetahui bahwa si anak perempuan sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Baltazar ingat bahwa anjing laut maupun burung camar tidak pernah menelantarkan sesamanya Lalu bagaimana bisa manusia menelantarkan anak perempuan ini? Andai saja Baltazar memiliki kebebasan untuk beramal, ia ingin berbagi kenyamanan dengan anak-anak yang tidak mendapatkan apa-apa dari sesamanya sendiri. Ia ingin menjadi beruang yang murah hati.Bagi Baltazar, hanya dengan menjadi bebas ia bisa melayani mereka yang tersisih oleh ketidakadilan dari sesama. Dalam hatinya, Baltazar masih menyimpan haapan agar dunia manusia tak sekeji yang terlihat.

Tinggal di kebun binatang mau tak mau membuat Baltazar berinteraksi dengan penjaga kandangnya. Sayangnya si penjaga kandang memiliki perangai buruk. Sejak Baltazar “dijebloskan” ke kandang, sudah terlihat jelas bahwa ini akan menjadi hubungan antara tahanan dan si penahan. Caranya memberi makan begitu kasar sedangkan caranya membersihkan kandang ogah-ogahan. Baltazar membayangkan seandainya posisi mereka di kutub, pastilah akan berbeda di sana bila si penjaga kandang berbuat kurang ajar dan bersikap angkuh. Ketiadaan konflik di antara mereka di kebun binatang, semata-mata karena kearifan Baltazar yang mau bersikap sabar.

Si penjaga kandang sebenarnya hanyalah orang biasa, bawahan biasa yang bisa menimbulkan rasa iba bila memandangnya. Namun itu semua hanya jika ia berpakaian biasa, lain halnya jika ia sudah memakai seragam kelabu penjaga kandang lengkap dengan cambuk yang menggelantung dari pinggangnya. Seragam itu seolah menjadi jubah kekuasaan baginya. Dalam seragam kelabu itu hanya ada keangkuhan, bentakan, perintah, pukulan, caci maki dan hinaan. Suatu hari, si penjaga kandang melecut muka seorang bocah sambil mengumpat-umpat karena melemparkan sesuatu yang tidak semestinya untuk beruang. Sang bocah yang mukanya lecet berdarah hanya bisa menangis terisak. Melihat hal tersebut, Baltazar lepas kendali. Ia menyerang penjaga kandangnya hingga beberapa waktu. Akibat hal itu, Baltazar tidak diberi makan selama seminggu dan penjaganya diganti dengan penjaga yang tidak sok kuasa. Baltazar juga tidak menyesali apa yang telah ia lakukan, ia merasa telah memberi sedikit pelajaran pada manusia

Di dalam kandangnya, Baltazar pernah jatuh sakit. Di saat itu pula pelan-pelan ia menemukan sisi lain manusia yang bernama kebaikan melalui dokter hewan yang merawatnya. Kejahatan manusia yang merenggutnya dari tanah asal diimbangi dengan kebaikan seseorang yang menyelamatkan nyawanya. Dari sinilah ia tidak bisa menaruh dendam kepada semua manusia secara pukul rata. Kebaikan juga terpancar dari anak-anak polos tak berdosa yang mengunjungi kandangnya. Baltazar melihat bahwa kebaikan berlangsung diam-diam di setiap sudut dunia manusia. Ia yakin bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk bersaksi di hadapan manusia bahwa kebaikan itu ada.

Di kandangnya, Baltazar menganalisis kehidupan manusia dalam kesunyian. Pada akhirnya, Baltazar jadi memahami manusia dan beruang lebih baik ketimbang pemahaman mereka sendiri. Kematiannya meninggalkan kenang-kenangan berupa kebaikan, keadilan dan cinta.

Semakin aku memikirkan semua ini semakin aku yakin betapa luar biasanya untuk bisa hidup itu, bahkan di penjara sekalipun, sebab tak seorang pun bisa merampas kapasitas kita untuk melihat, berpikir dan bermain (hlm 52)

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *