Gayeng di Getih Getah Gula Klapa

Sepekan lalu, komunitas Sulud Sukma bersama karang taruna desa Sumberjati untuk ketiga kalinya sukses menggelar kegiatan tahunan Getih Getah Gula Klapa bertajuk “Cucuk Lampah”. Acara yang di gelar di komplek Candi Simping ini dipadati oleh ratusan penonton dari berbagai lapisan masyarakat yang begitu antusias menyaksikan pertunjukan kesenian yang memukau. Memang acara ini terlihat sederhana, namun kesederhanaan itu tidak mengurangi spirit kebangsaan Raden Wijaya yang ingin ditularkan.

Indonesia Raya tiga stanza bergema membuka acara yang diselenggarakan di malam hari bertepatan dengan malam purnama, semua penonton berdiri dan menyanyi dengan khidmat. Setelah lagu selesai dinyanyikan, semua penonton duduk lesehan di depan panggung, tak terkecuali orang nomor satu di kabupaten Blitar: Drs. Rijanto, MM beserta jajaran pejabat. Tak ada sekat antara rakyat dan pejabat dalam pertunjukan malam itu, semua setara.

Tari Genjring
Musikalisasi Puisi “Di Rahim Ibu”

Pertunjukan pertama dimulai oleh Lisa Ayuningtyas yang menarikan tari Genjring. Dalam balautan busana serba hijau, gadis itu menari dengan bersemangat. Tak ayal, ia memperoleh applaus yang meriah. Begitu Lisa turun panggung, naiklah Sinta, Rizal, dan Bobby dari Komunitas Pemuda menyuguhkan musikalisasi bertajuk “Di Rahim Ibu”. Suara Sinta yang empuk, puisi yang liris, berpadu dengan keindahan musik yang dimainkan oleh Rizal dan Bobby dengan jimbe dan gitarnya

Jauh-jauh dari Solo, komunitas Saka Galeri turut memeriahkan festival Getih Getah Gula Klapa dengan tarian dramatis berjudul Perwitasari Suci. Semakin malam, pertunjukan semakin meriah. Komunitas Blang-Bleng menghadirkan hentakan irama Jimbe dalam “Tartar’s Invasion” yang menggambarkan datangnya pasukan Tartar (Mongol) ke Jawa untuk menuntut balas pada Kertanegara. Kisah Raden Wijaya, dituturkan oleh Mbah Siswo dalam Sanggramawijaya Ring Wilwatikta dengan harapan penonton mengenal sang proklamator kerajaan Majapahit.

Tari Perwitasari Suci
Tartar’s Invasion

Malam semakin larut, datanglah pasukan Kirab Pataka Majapahit yang membawa sepuluh pataka yang terdiri dari Nareswara, Baruna, Padmanaba Wiranagari, Pancawira Amuktinagari, Wiradharma, Cakrabhawana, Pancadhaksina, Anantaboga dan Amawabhumi. Kesepuluh pataka tersebut dibawa oleh sepuluh orang anak-anak desa Sumberjati sebagai simbol penerus kejayaan Majapahit. Kedatangan kirab pataka disambut oleh lima orang gadis berparas ayu dari sanggar Patrialoka yang menarikan Bedaya Surya Nareswari.

Bedaya Surya Nareswari
Serah Terima Pataka Majapahit

Ketika tarian Bedaya Surya Nareswari usai, Bupati Blitar bersama Sembilan orang pejabat lainnya diminta menerima masing-masing satu pataka untuk kemudian disemayakan di candi Simping yang malam itu bercahaya disinari puluhan pelita. Pataka disemayamkan, Getih Getah Gula Klapa pun ditutup dengan doa budaya dan lagu Indonesia Pusaka.

Doa Budaya

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *