Lima tahun silam ketika pertama kali bertandang ke Dongeng Kopi di Gorongan, aku melihat sebuah mural bertuliskan “PASTIKAN CANGKIRMU TIDAK BERKUBANG AIR MATA PETANI” . Saat itu yang terbayang dipikiranku hanyalah,”Oh, berarti harus fair trade” saja. Bertahun kemudian barulah kupahami adagium tersebut lewat Babad Kopi Parahyangan yang ditulis oleh Evi Sri Rezeki. Novel setebal 347 halaman itu benar-benar membuka mataku terhadap sejarah panjang nan kelam atas emas hitam yang pada masa kejayaannya disebut a cup of java.
“Kelak sajikan untuk awak secangkir kopi yang tersohor itu, buat awak paham mengapa dunia menyetarakannya dengan emas,” ucap Ote saat berpisah dengan Karim.
Babad Kopi Parahyangan – Evi Sri Rezeki
Sebelum membaca novel terbitan Marjin Kiri ini, aku menyempatkan diri untuk membaca Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli karena pada halaman belakang terdapat catatan bahwa ada beberapa kutipan yang diambil dari novel fenomenal tersebut. Membaca Max Havelaar kemudian melanjutkannya dengan Babad Kopi Parahyangan membuatku memperoleh pandangan tentang tanam paksa (khususnya Preangerstelsel) secara komprehensif, dari sudut pegawai Belanda yang “lurus” dan pribumi yang berjuang melawan kolonialisme-feodalisme.
Jika dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau sejarah Indonesia yang pernah kupelajari di bangku sekolah, kolonialisme Belanda hanya dijelaskan secara historiografis saja. Misalnya, pergantian jabatan/ masa jabatan Gubernur Jenderal, sistem tanam paksa, pembangunan jalan raya pos dan seterusnya (yang menurutku hanya sekadar formalitas menghafal nama dan tanggal peristiwa) , di buku ini pembaca diajak melihat kondisi tanam paksa kopi yang waktu itu merupakan komoditas yang bernilai mahal di Eropa.

Para pribumi dipaksa bekerja keras untuk meyuguhkan kopi terbaik bagi pemerintah kolonial Belanda tanpa fasilitas dan upah layak. Di setiap biji kopi yang dijual di Pasar Lelang Eropa ada keringat, tangis, air mata, darah dan nyawa para buruh pribumi. Tinggal di tanah yang subur dan kaya, masyarakat di Tatar Ukur tak ubahnya ayam yang kelaparan di lumbung padi. Kopi berkualitas dengan cita rasa tinggi tak bisa mereka nikmati. Hanya kopi careuh bulan (kopi luwak) yang tersisa, itu pun harus diolah dan diminum sembunyi-sembunyi. Lebih parah lagi di ranah di Minang, masyarakatnya hanya bisa menyeduh kawa daun (daun kopi yang dikeringkan).
Di sini juga terlihat betul bagaimana licik dan lihainya pemerintah kolonial Belanda dalam menggunakan taktik “devide et impera”. Banyak konflik horizontal maupun vertikal yang tercipta sehingga cukup menyulitkan kaum pribumi untuk bersatu dan sejahtera.
Meski banyak kisah miris dan ironis, ada juga kisah jenaka dan kisah cinta. Lewat novel ini pembaca sedikit banyak diajak belajar budaya Minang dan Sunda. Sayangnya ada beberapa kata atau kalimat dalam bahasa daerah tersebut yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau diberi catatan kaki. Aku bahkan sampai bertanya arti sebuah umpatan dalam bahasa Minang kepada kakak iparku agar bisa membaca dan memahaminya dengan lebih impresif.
Evi Sri Rezeki menarasikan seri pertama dari (bakal calon) tetraloginya dengan sangat baik. Ia memikatku sehingga aku merasa keberatan jika harus mengalihkan perhatianku kepada hal lain. Hanya dalam dua hari novel ini tandas kubaca, lantas menimbulkan tanya: Setelah kisah Karim si bujang dari Batang Arau yang bercita-cita menjadi bandar dagang kopi ternama, bagaimana kisah Kenikir Mutiawaty dan Anargya Khapi menghidupkan kembali perkebunan dan kedai kopi?
Be the first to reply