Ketika nama Fiki Naki jadi buah bibir di dunia maya, aku tidak buru-buru mencari tahu siapa dia. Tiga tahun terakhir aku memang tidak terlalu mengikuti tren karena itu melelahkan. Jujur saja, kalau bukan karena tuntutan pekerjaan barangkali aku sudah menonaktifkan akun-akun media sosialku. Mungkin aku hanya akan menyisakan gmail, blog, dan twitter saja. Oh, dan satu akun di salah satu marketplace yang digandrungi banyak orang. Dulu aku sempat beberapa minggu (atau bulan? aku lupa) tidak menggunakan smartphone sama sekali pada masa awal didiagnosa bipolar. Kalau kuingat lagi, Joy Of Missing Out (JOMO) itu menyenangkan sekali. Aku tak perlu memikirkan hal-hal yang sejatinya tak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupanku. Jadi sekarang kurasa aku tidak cocok bekerja pada lembaga/perusahaan yang pada pengumuman lowongan pekerjaannya mensyaratkan social media savvy atau strong Fear Of Missing Out (FOMO).
Baik, kembali ke Fiki Naki. Bocah ini akhirnya muncul di kanal Youtube Deddy Corbuzier dan Sacha Stevenson serta akun-akun informasi hiburan di instagram karena beritanya dengan seorang selebgram asal Kazakhstan bernama Dayana. Dari situ aku mengetahui jika Fiki Naki adalah seorang poliglot yang menguasai lima bahasa: Indonesia, Inggris, Rusia, Spanyol, dan Rumania. Katanya, ia belajar secara otodidak melalui internet. Untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajarinya, ia memanfaatkan aplikasi (semacam) video conference bernama Ome TV. Beberapa video percakapannya ia rekam kemudian diunggah di kanal Youtube pribadinya. Ia sering kali merayu gadis-gadis yang ia temui di Ome TV. Banyak pula yang memuji kemampuan berbahasa asingnya.
Setelah mengetahui sosok Fiki Naki, aku merasa agak malu, cukup tertampar dan menyesal. Kenapa? Karena seharusnya aku bisa menjadi poliglot. Sejak kecil hingga saat ini, setidaknya aku telah bersinggungan dengan beberapa bahasa yaitu Jawa, Indonesia, Arab, Inggris, Jepang, Prancis dan Belanda. Sayangnya, tidak semua kupelajari sampai aku memiliki kemampuan membaca, menulis dan berbicara. Mari kujelaskan sejauh mana aku belajar tujuh bahasa tersebut.
- Bahasa Jawa bagiku adalah bahasa ibu. Sejak kecil sampai sekarang aku masih aktif menggunakannya dalam ragam lisan meski lebih cakap menggunakan bahasa Jawa ngoko plus pisuhan khas dari berbagai daerah dibanding bahasa Jawa krama. Untuk ragam tulisan, hanya sebatas chatting di aplikasi WhatsApp atau menulis cuitan di Twitter. Aku belum pernah menulis artikel dalam bahasa Jawa, baik menggunakan alfabet atau aksara Jawa. Untuk membaca aksara Jawa aku juga masih bisa meski harus dibantu dengan pepak. Beberapa kali aku menerima permintaan untuk transliterasi dari kawanku yang mengambil peminatan filologi dan skripsinya menggunakan teks beraksara Jawa. Jadi, bolehkah aku bilang kalau kemampuan berbahasa Jawaku menengah ke atas?
- Meski sejak sekolah dasar sudah belajar bahasa Indonesia hingga di perguruan tinggi mengambil jurusan sastra Indonesia pula, sampai sekarang aku merasa jauh dari level mahir. Pernah mengikuti kelas pengantar linguistik umum, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, tak lantas membuatku paham apa arti “Bahasa Indonesia yang baik dan benar”, kenapa harus menggunakan kata baku, kenapa harus menggunakan kata serapan, bagaimana penggunaan tanda baca yang tepat, dan masih banyak lagi. Ketika aku memasuki semester enam, ada sebuah program baru keluaran Badan Bahasa (atau Kemdikbud, aku kurang tahu mana yang lebih tepat), yaitu Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI). Kantor jurusanku melakukan uji coba pada mahasiswa peminatan linguistik. Ada temanku merasa soal yang diujikan cukup sulit, tapi toh dia mendapatkan nilai yang cukup bagus. Aku sendiri belum pernah mencoba UKBI. Kalau kamu ingin tahu seberapa mahir kemampuan berbahasa Indonesiamu, coba saja ikut UKBI di situs ini https://ukbi.kemdikbud.go.id/
- Memeluk agama Islam dari lahir dan memiliki seorang ayah yang religius, otomatis membuatku dekat bahasa Arab sejak dini. Aku diajari berdoa dalam bahasa Arab dan belajar iqro. Saat berumur enam tahun, aku sudah dinyatakan lulus iqro oleh guru mengajiku di TPQ. Jika diingat lagi, rasanya aku cukup keren juga. Masih duduk di bangku TK tapi sudah lancar membaca Al Quran. Ayahku menyekolahkanku di sebuah sekolah dasar berbasis agama, namanya SD Islam Babadan. Di sekolah itu ada mata pelajaran bahasa Arab yang diajarkan untuk muri kelas tiga sampai kelas enam. Kami mendapatkan pelajaran bahasa Arab seminggu sekali. Tidak banyak materi yang kuingat. Sepertinya kami di ajari kosakata, kata ganti, kata tunjuk, percakapan sederhana. Setiap ujian, nilaiku tidak jelek-jelek amatlah.
Selepas itu aku baru kembali mempelajari bahasa Arab di perkuliahan. Mata kuliah bernilai ini bernilai dua sks. Dosenku merasa durasi pertemuan sangat terbatas hingga beliau memutuskan untuk mempersempit tujuan pembelajaran ini yaitu (hanya) agarkami bisa mencari kata dasar dan artinya pada kamus. Aku sungguh bersimpati ketika kawanku yang beragama Kristen merasa mata kuliah ini sungguh tidak adil karena ia dan sebagian kecil kawanku lainnya tidak bisa membaca huruf hijaiyah. Seingatku mereka diluluskan dengan nilai C.
Setiap hari aku mendaras Quran tanpa tahu artinya (kecuali jika aku membaca terjemahannya). Setelah mengetahui sosok Fiki Naki dan sering mendengar keluhan ayahku bahwa beliau ingin anaknya ada yang menjadi Hamilul Quran, aku jadi ingin mendalami bahasa Arab. Setahuku-bagi yang memahami bahasa Arab-Quran adalah kalam yang indah. Nah, aku ingin merasakan keindahan itu di semua surah dan ayat sebagaimana aku menikmati surah Ar-Rahman. Siapa tahu juga, dengan memahami serta memaknai setiap kata dan ayat, menghafal Quran jadi lebih mudah. - Aku punya pengalaman yang agak aneh dengan bahasa Inggris. Mendiang Mbah Kakungku, bapak dari ibuku, dulu berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di salah satu sekolah swasta di Cilacap. Semasa hidupnya kami tidak pernah berbincang dalam bahasa Inggris, selalu bahasa Indonesia. Setelah kepergiannya, aku menemukan beberapa buku ajar bahasa Inggris. Seberapa fasih Mbah Kakungku dalam berbahasa Inggris masih menjadi misteri sebab setahuku lima anaknya (termasuk ibuku) tidak pernah menggunakan bahasa Inggris tiap keluarga besar kami berkumpul. Tidak sama sekali, sesederhana apa pun.
Lain halnya dengan aku dan tiga saudaraku. Kami cukup menguasai berbahasa Inggris, minimal pasif. Skor TOEFL kami tidak memalukan, terakhir kali aku mengikuti TOEFL pada 2017 lalu dan menghasilkan skor sekitar 470-an. Jika berbincang dengan native speaker kami bisa ‘nyambung’ walau kadang tata bahasaku agak kacau. Menonton film berbahasa Inggris tanpa teks terjemahan? Bisa. Si bungsu malah menjadi pengguna bahasa Inggris paling aktif karena bekerja sebagai air traffic controller, sedangkan aku dan kedua kakakku kadang berkomunikasi dengan bahasa Inggris agar lebih impresif (entah kenapa jika menggunakan bahasa Inggris,aku merasa emosiku tersalurkan dengan lebih tepat) atau sedang membahas sesuatu yang sifatnya agak rahasia. Sepertinya setelah Idul Fitri nanti aku mau rehat dari berjualan kacang mete selama sebulan untuk memperbaiki tata bahasaku dan mencoba TOEFL lagi. - Ketika menjadi siswa kelas XI dan XII di SMAN 1 Talun, aku mendapat mata pelajaran Bahasa Jepang. Satu kata untuk Bahasa Jepang: sulit. Tapi mau tak mau aku harus belajar menulis hiragana dan katakana, belajar kosakata baru, tata bahasa sederhana dan kalimat sederhana yang sering diucapkan orang Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Sensei Mae pernah memuji tulisan hiraganaku. Aku suka sekali dengan cara mengajar Sensei Mae, sangat mudah dipahami dan dicerna otakku. Di akhir pertemuan, Sensei Mae selalu bilang, “Jaa mata, mataraisu, sayonara! “. Di kelas XII, pengajarku berganti Pak Budi. Entah bagaimana aku jadi ambyar. Nilaiku tak sebaik ketika diajar Sensei Mae. Padahal dulu ketika Pak Budi mengampu mata pelajaran bahasa Inggris di kelas X, aku baik-baik saja. Aneh ya?
Melihat prospek masa kini, aku jadi berangan-angan untuk tinggal di Jepang. Tinggal di desa, jadi petani, lalu kaya raya ketika pulang ke Indonesia. Ah, betapa menyenangkan mengkhayal di siang bolong. Tapi ya itu, syaratnya harus bisa bahasa Jepang. - Apprende Le Francais. Kalau ingatanku tak salah, begitu tulisan yang tertera di modul kursus kilat bahasa Prancis. Kursus kilat selama kurang lebih empat pertemuan tiap akhir pekan itu diselenggarakan oleh salah satu unit kegiatan mahasiswa fakultas hukum yang kampusnya bersebelahan dengan kampusku. Bayang-bayang keindahan Prancis yang pernah dinarasikan Andre Hirata dalam novelnya yang berjudul Edensor dan konon katanya bahasa Prancis itu sengau-sengau indah membuatku termotivasi mengikuti kursus kilat ini.
Namanya juga kursus kilat, tak banyak yang didapat. Dari beberapa pertemuan itu aku mendapatkan pengetahuan bahwa dalam bahasa Prancis: apa yang dituliskan berbeda dengan cara membaca. Seperti nama “Anggun”, oleh orang Prancis dibaca ” Anggung”. Lalu ada kata maskulin dan feminin. Jadi, kesimpulanku bahasa Prancis itu tricky. Meski begitu aku masih menaruh minat pada bahasa ini karena aku ingin jadi penerjemah atau pemandu wisata. - Negara ini pernah dikolonisasi Belanda, tapi tidak ada pelajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah Indonesia. Adakah tempat selain Sastra Belanda Universitas Indonesia yang mengajarkan bahasa Belanda? Ada sih di jurusan sastra Indonesia dan ilmu sejarah tempatku kuliah. Meski jurusanku bernama “Sastra Indonesia”, ada mata kuliah bahasa Belanda senilai dua SKS yang wajib diambil. Saat itu semester lima, kelasku diampu seorang dosen yang pernah kuliah di Belanda. Satu kelas yang bertempat di ruang teater itu diikuti oleh 80 mahasiswa. Suara dosenku sangat pelan, meski ada microfon dan pengeras suara, beliau tidak menggunakannya. Jadi kesan yang timbul adalah hanya mahasiwa di dua deret terdepan yang diajar. Aku bersama Untung memang lebih suka duduk di bagian belakang sehingga kami tidak dapat mendengar penjelasan beliau. Kami bersama mahasiswa lain yang menempati deret paling belakang sering gelagapan ketika beliau tiba-tiba menghampiri kami dan menguji pemahaman kami dengan pertanyaan. Bagi kami ini paradoks. Yang diajar deret depan tapi yang ditanya deret belakang.
Di tengah semester, aku dan Untung sudah angkat tangan dengan mata kuliah ini. Menyerah dengan metode mengajar sang dosen pengampu lebih tepatnya. Kami rela harus mengulang mata kuliah bahasa Belanda di semester tujuh bersama adik tingkat nanti. Ujian akhir semester saat itu kami garap sekenanya. Alhasil, aku yang selama kuliah tidak pernah mendapat nilai di bawah B, untuk pertama kalinya menorehkan nilai D di kartu hasil studi. Bukannya sedih, kecewa, atau marah, aku malah tertawa lebar.
Di semester tujuh aku mengulang mata kuliah Bahasa Belanda dengan dosen pengampu yang berbeda. Kali ini aku lebih memahami materi dan mudah dalam mengerjakan tugas. Akhirnya, nilai bahasa Belandaku yang tadinya D berubah menjadi A!
Aku juga masih berminat untuk melanjutkan belajar bahasa Belanda. Aku ingin membaca arsip-arsip di perpustakaan Leiden, belajar sastra Belanda, mencari tahu bagaimana pemerintah Belanda menuliskan sejarahnya, dan membaca surat-surat Kartini dalam bahasa Belanda. Konon katanya, terjemahan surat-surat Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang masih kurang tepat.
Di masa pandemi ini banyak sekali penawaran kursus bahasa asing secara daring dengan harga yang masuk di kantong, tapi aku ndak suka belajar onlen, maunya tatap muka.
Be the first to reply