Bangsat!

Adalah kata yang terucap dari mulutku ketika membaca halaman 175 dari novela berjudul Kepinding karangan Akbar Ridwan. Sungguh, aku telah hanyut dalam cerita tentang seseorang yang resah sejak ia lulus sekolah, bekerja, kuliah, lantas menjadi wartawan muda. Narasi yang ditulis dengan begitu jujur dan apa adanya ini mampu mengetuk rasa kemanusiaan pembaca (setidaknya rasa kemanusiaanku). Banyak fragmen-fragmen dalam novela ini yang mampu mengaduk-aduk perasaan hingga membuat bulu kudukku meremang untuk beberapa saat. Sering kali aku harus menutup buku sejenak tiap usai membaca satu bab untuk menetralkan perasaan dan menarik napas panjang. Kepinding, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kutu pengisap darah manusia.

Novela ini berkisah tentang seorang wartawan muda media cetak Pleidoi yang sedang bertugas di Bogor, tepatnya daerah Parung Panjang. Ia tengah menginvestigasi tentang aktivitas tambang di daerah tersebut. Demi memuluskan langkahnya untuk melakukan liputan, ia melakukan penyamaran. Masa tugasnya selama enam bulan membuatnya mengambil keputusan untuk mengontrak di Parung Panjang. Kepada warga sekitar, ia mengaku bekerja serabutan. Penampilannya pun meyakinkan, ia sama sekali tidak terlihat necis. Bahkan motor yang digunakannya terbilang motor butut, Honda C7. Agaknya wartawan muda ini memang penyuka barang klasik. Di zaman kiwari, ia memilih menggunakan jam saku, mesin ketik tua, dan tape recorder sebagai perangkat liputan.

Di bulan ketiga penugasan, koordinator liputannya menagih hasil investigasinya. Namun karena merasa data yang dimilikinya belum memadai, ia meminta penangguhan, toh masa investigasi baru berjalan separuh waktu yang dijanjikan. Sambil menggerutu, koordinator liputan mengiyakan permintaan wartawan muda yang cukup berbakat itu.

Gayung bersambut. Bak kejatuhan durian runtuh, sebuah fakta penting dan mengejutkan tiba-tiba muncul di hadapannya. Tanpa membuang waktu, wartawan itu segera menelusuri fakta tersebut. Dalam sekejap ia mendapatkan banyak bahan untuk ditulis menjadi berita. Meski jurnalis sebenarnya dituntut untuk netral, wartawan muda ini telah memilih untuk berpihak pada rakyat kecil. Hal itu bukan tanpa alasan, pengalaman empiris dan spiritualnya ketika berkunjung ke Malang beberapa waktu sebelum kuliah, pengalamannya mengikuti aksi kemanusiaan ketika masih kuliah di Semarang dan pengalamannya menilik masyarakat desa di beberapa kabupaten maupun kota di Jawa Tengah membuatnya memutuskan untuk berpihak kepada rakyat kecil. Rakyat kecillah yang selalu menderita dan dirugikan oleh pemilik modal. Meski “kekuatannya terbilang lemah”, tak ada kata berhenti untuk melawan demi keadilan. Dalam salah satu investigasinya, diketahui salah satu pemilik tambang itu adalah pimpinan partai sekaligus investor di media tempatnya bekerja. Hal itu tidak membuatnya gentar, ia tetap menuliskan fakta tersebut.

Dua belas judul tulisan ketikannya ia kirimkan kepada koordinator liputan lewat jasa ekspedisi kantor pos (sungguh klasik!). Sang koordinator liputan girang bukan kepalang membaca hasil liputan wartawan muda itu. Sayang, berhari-hari usai liputannya terbit, wartawan muda itu menghilang tanpa kabar. Kabar terakhir yang didapat media Pleidoi adalah wartawan muda itu dan seorang aktivis gerakan buruh hilang dalam demonstrasi menolak tambang. Pelaku penculikannya sungguh di luar dugaan hingga menimbulkan kemarahan dan kebencian bagi pembaca. Plot twist!

Membaca lantas menulis kesan untuk buku ini bukanlah hal yang mudah bagiku. Akbar adalah salah satu temanku dan kadang aku jadi tidak bisa objektif menilai temanku sendiri. Bagiku ia adalah orang yang selalu gelisah dan memiliki perasaan yang sangat halus. Setahuku orang menulis buku setidaknya karena dua alasan: menuliskan keinginan yang belum dicapai atau menuliskan pengalamannya. Nah, membaca novela ini seperti menyelami kehidupan pribadinya. Aku membaca kecintaannya pada benda klasik, prinsipnya dalam merokok dan mencintai perempuan, empatinya terhadap masyarakat kecil, bakat menulisnya dan masih banyak lainnya.

Aku bukan seseorang yang memiliki kapabilitas untuk membedah atau menilai sebuah karya tulis. Bukan, aku bukan H. B. Jassin. Tapi aku akan merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Mengapa? Karena buku ini ditulis dengan jujur dan tulus, sehingga mampu mengasah kehalusan rasa atau empati pembaca. Bagiku karya Akbar bisa disebut sebagai sastra jurnalistik. Riset yang dilakukannya cukup dalam. Sebagai alumni jurusan sejarah, Akbar juga menyisipkan peristiwa-peristiwa di masa lalu yang memiliki keterkaitan dengan cerita ini. Sesekali pembaca akan “dipaksa” membuka KBBI karena Akbar menggunakan diksi yang tidak umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti “lepau”,”dukan”, dan “serdak”. Bahkan ada satu kata yang belum masuk KBBI, yaitu “pawodu”. Pawodu, menurut Wikipedia adalah atap yang terbuat dari daun kelapa. Ada satu-dua halaman di mana terdapat dialog dalam bahasa Sunda kasar. Memang tidak ada catatan kaki maupun terjemahan, namun hal itu bukan masalah karena pembaca bisa menangkap konteks percakapan. Ada beberapa kata yang saltik, namun masih terbilang minor sehingga tidak menjadi masalah. Begitulah Kepinding.

Proficiat, Akbar!

Poenakawan, 24 Januari 2021

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *