Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan menghabiskan pekan terakhir bulan Ramadan dengan berjualan mete di pinggir jalan. Berjualan mete di pinggir jalan adalah ide bapakku yang muncul pada akhir minggu kedua bulan Ramadan sebab korona telah ikut andil membuat jumlah pesanan mete kami turun. Kolega yang biasanya memesan mete dalam jumlah banyak untuk dijadikan parsel atau oleh-oleh mengurangi pesanannya, begitu juga reseller kami. Biasanya di pekan ketiga bulan Ramadan 100 kilogram mete sudah habis terjual namun kali ini masih tersisa sekitar 30 kilogram. Kami belum balik modal. Korona seakan membuat daya beli kolega kami menurun atau entah prioritas mereka yang dialihkan.
Keputusan sudah bulat, spanduk telah dibuat, kami siap berjualan di jalan. Mulanya kami berniat berjualan di sore hari dari pukul 15.00-17.00 di depan sebuah instansi pemerintah karena di pagi hari bapakku pergi bekerja hingga siang hari. Namun karena merasa segmen pasar perlu diperluas, aku memutuskan berjualan seorang diri di pagi hari dari pukul 08.00-12.00. Aku berjualan di depan sebuah sekolah dasar yang menghadap ke jalan raya. Jalanan ini kadang ramai kadang sepi, kadang pengendara berkendara dengan kencang kadang tidak. Jadi kurasa tempat ini cocok menjadi tempat berjualan. Satu bungkus kacang mete seberat 500 gram kami hargai Rp90.000 , pas tidak bisa ditawar. Harga ini sudah bisa dikatakan turun dari harga tahun lalu yang mencapai Rp200.000 per kilogram. Kami berani menjual mete dengan harga di atas rata-rata karena yakin pada kualitas mete kami yang baik dan rasa yang dijamin enak. Bentuknya yang utuh dan asalnya yang asli Wonogiri menjadi daya jual kami ke masyarakat.
Empat jam bukanlah waktu yang singkat, aku pun memutuskan mengisi masa tunggu dengan membaca buku. Sambil membaca aku mengawasi sekitar dari sudut mataku siapa tahu ada pembeli datang. Kadang-kadang aku meletakkan bukuku untuk melayani pembeli, baik yang hanya bertanya maupun yang membeli. Selama berjualan aku telah menamatkan Sister Fillah You’ll never be alone, Na Willa, Semasa, dan Awal dan Mira. Rata-rata buku itu kutamatkan dalam waktu dua jam saja ditemani hiruk pikuk jalanan. Dua jam sisanya aku memilih memandangi keramaian jalanan sambil sesekali melihat beranda instagram.
Selama sepekan aku bertemu rupa-rupa pembeli. Ada yang menawar dengan halus, ada yang menawar blak-blakan dengan harga rendah, ada yang banyak bertanya tanpa membeli, ada yang ketus tapi toh tetap membeli juga, ada yang meminta sesuatu yang tidak tersedia. Pembeli favoritku adalah mereka yang tidak banyak cakap tapi langsung membayar sesuai pesanan, kebanyakan pembeli seperti ini adalah laki-laki. Dalam sehari rata-rata aku bisa menjual sekitar tiga sampai empat kilogram mete.
Sepekan berlalu, stok mete kami akhirnya habis. Di hari terakhir aku pulang lebih awal. Kesuksesan ini menurutku perlu dirayakan, jadi aku membeli sosis dan minuman dingin di minimarket. Betapa lega dan gembira hatiku di hari terakhir berjualan. Kami sekeluarga bisa berlebaran dengan tenang.
Sekarang aku jadi rindu membaca di pinggir jalan ditemani bising kendaraan.
Be the first to reply