Perempuan

Sesama perempuan hadir kepada perempuan tidak untuk mengukur-ukur amalan, mengurusi wilayah pribadi, atau mencatat dosa perempuan lain. (hlm. 116)

Pagi itu aku menggelar dagangan berupa kacang mete di jalan. Aku berjualan dari pukul 08.00 sampai pukul 12.00. Bagiku waktu yang tidak sebentar itu sayang untuk dilewatkan hanya dengan memandangi jalanan sambil menunggu dan berharap pembeli datang. Maka dari itu aku memutuskan untuk membaca Sister Fillah, You’ll never be alone karya Kalis Mardiasih sambil mengisi masa tunggu. Aku mengenal Kalis lewat tulisannya di beberapa media  dan di media sosial pribadinya. Bagiku ia adalah pribadi yang nyentrik dan progresif. Jadi ketika ia mengumumkan sedang membuka pre-order  untuk buku terbarunya aku memutuskan untuk ikut memesan.

Ternyata keputusanku untuk membeli buku ini tidak salah. Aku mendapatkan bahan bacaan yang benar-benar bagus tentang perempuan dari seorang perempuan. Lewat buku ini aku dibukakakan pada permasalahan yang masih sering dihadapi banyak perempuan, baik lokal maupun internasional. Dari masalah pribadi sampai komunal, dari dapur sampai kasur, dari akses pendidikan sampai akses kesehatan dan masih banyak lagi tulisan bernas lainnya.

Aku suka bagaimana cara Kalis menyikapi ragam jilbab di Indonesia, meme akun dakwah yang mengontrol pilihan perempuan, pendidikan seks, hak reproduksi, otoritas tubuh, kekerasan seksual, kesetaraan, text-based atau dalil-based, hingga batas toxic. Kadang-kadang ada bab yang membuatku sebagai perempuan merasa ngilu melihat kenyataan bahwa hidup sebagai perempuan tidaklah mudah seperti dalam bab ”Kita Butuh Kesetaraan” yang dimulai dengan reply twit yang mengisahkan janda bekerja serabutan dengan banyak anak dan istri dengan suami yang melupakan tanggung jawabnya untuk menakahi keluarga. Yang tak kalah ngilu lagi adalah bab “Memangnya Zaman Sekarang Masih Ada yang Nggak Setara?” dimana pikiran pembaca dibukakan pada kenyataan bahwa perempuan masih sering dihadapkan dengan marginalisasi (proses peminggiran dari akses sumber daya atau pemiskinan yang dialami perempuan akibat peran gender  di masyarakat), subordinasi (kondisi yang mutlak meempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada laki-laki), stigmatisasi (penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang sering kali merugikan dan menimbulkan ketidakadilan), kekerasan, dan beban ganda.

Perempuan sering dianggap lebih baik di rumah saja atau sering kali disebut dengan kiasan “dimuliakan”. Namun betulkah dengan “merumahkan” perempuan sama dengan “memuliakannya”? Pada kenyataannya tidak semua perempuan bisa tinggal berdiam di rumah saja karena ikut andil mencari nakah untuk keluarganya atau memang ia perempuan progresif yang memiliki karier yang bermanfaat bagi sesama atau bisa jadi ia seorang janda yang harus menghidupi anak-anaknya.

Paham, ya? Nggak semua perempuan punya suami yang kebetulan saleh, kerja di BUMN, atau punya warisan yangbanyak sehingga tanpa harus ngapa-ngapain sudah ujug-ujug jadi mulia Begitu, kan? (hlm. 47)

Begitu banyak problema yang dihadapi oleh perempuan, tidak perlu ditambahi dengan saling curiga apalagi membenci terhadap sesama karena sekarang yang dibutuhkan oleh sesama perempuan adalah saling senyum, saling mengulurkan tangan, dan saling menguatkan untuk menghadapi kerasnya kehidupan

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *