
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tsundoku adalah keadaaan di mana seseorang memperoleh bahan bacaan namun membiarkannya menumpuk tanpa membacanya. Atau dalam arti lain, seseorang terus membeli buku namun tidak membacanya. Sudahlah, pembahasan tentang arti tsundokucukup sampai di sini karena saya ingin membagikan pengalaman “masa tsundoku” yang pernah saya alami supaya ketika ada seseorang yang melakukan pencarian dengan kata kunci “tsundoku adalah” pada mesin pencarian Google, tidak melulu kisah Frank Rose–pelaku tsundoku asal Amerika yang akhirnya menyumbangkan 13.000 bukunya untuk Arden-Dimick Library– yang muncul.
Kira-kira dua tahun terakhir ini saya mengalami tsundoku. Saya membeli dan terus membeli buku baik secara daring maupun membelinya secara langsung. Tsundoku yang saya alami bukanlah benar-benar keadaan di mana saya terus menimbun bahan bacaan namun sama sekali tidak membacanya, namun jumlah buku yang saya baca (apalagi membaca sampai tamat) sangat jauh dibandingkan dengan jumlah buku yang sudah saya beli. Mengapa? Alasan yang bisa saya ajukan: sibuk. Atau barangkali sok sibuk. Selama dua tahun terakhir ini waktu saya sudah disita oleh kegiatan perkuliahan, rapat, dan menjadi budak proker (program kerja). Dalam rentang waktu itu pula nafsu membaca saya mengalami kemerosotan, jauh sekali bila dibandingkan ketika belum menjadi mahasiswa budak proker.Berbanding terbalik dengan nafsu belanja buku. Di perantauan, akses toko buku yang lebih mudah dibanding dengan tempat tinggal saya dan banyaknya acara pameran buku yang menawarkan harga jauh lebih murah menjadi pemicunya. Saya akan berpikir berkali-kali untuk membeli baju, sepatu atau kosmetik, tapi tidak untuk buku.
Hal lain yang mungkin saja bisa mendukung saya melakukan tsundoku adalah membeli buku yang tidak benar-benar ingin saya membeli. Suatu ketika saya membeli buku pada salah satu toko buku daring, Pengantar Ilmu Sastra karangan Jan Van Luxemburg. Buku ini dihargai Rp33.000,- oleh penjualnya, dengan ongkos kirim Rp5.000,-. Ketika hendak melakukan transfer di salah satu bank, ternyata bank tersebut mensyaratkan jumlah transfer minimal adalah Rp50.000,-. Si penjual tak memiliki akun bank lain yang bisa membuat saya melakukan transaksi di bawah nominal tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk menambah satu judul buku dengan pertimbangan harga yang tidak terlalu mahal dan cerita yang mungkin menarik. Pilihan saya jatuh kepada buku berjudul Gurun Cinta karya François Mauriac yang pernah diganjar Grand Prix du Roman de l’Academie Française. Sampai sekarang, buku yang saya peroleh dengan harga Rp20.000,- itu masih berada dalam tumpukan buku yang belum pernah dibaca bersama Mademoiselle Fifi, Tess of d’Ubervilles, Sense and Sensibility, Awal dan Mira, Cala Ibi, Sitti Nurbaya dan beberapa buku lainnya.
Terkadang, saya merasa perlu memiliki sebuah buku karena pengaruh film, iri pada koleksi buku teman atau karena dalam sebuah buku yang sedang saya baca menyebutkan nama pengarang atau judul buku lain. Misalnya, setelah menonton Fifty Shades of Grey saya merasa harus memiliki Tess of d’Ubervilleskarena Anna menjawab,”Hardy.” ketika Christian bertanya,”Tell me, was it Charlotte Bronte, Jane Austen, or Thomas Hardy who first made you fall in love with literature?” dan tak lama setelah itu Christian mengirimi Anna Tess of d’Ubervilles cetakan pertama disertai surat berisi kutipan “Why didn’t you tell me there was danger? Why didn’t you warn me? Ladies know what to guard against, because they read novels that tell them of these tricks” . Karena novel terbitan Wordsworth Classic tersebut menggunakan gaya bahasa Inggris abad 18, tentu sulit bagi saya untuk menerjemahkannya. Buku ini pun masuk dalam kelompok buku yang belum saya baca. Ketika usai membaca Rumah Kertas karangan Carlos Maria Dominguez pun saya menjadi penasaran dengan karya Joseph Conrad, namun sampai saat ini masih belum membeli bukunya. Jika sudah terbeli, barangkali nasibnya akan sama seperti Hardy.
Tsundoku memiliki sisi positif dan sisi negatif. Positifnya, koleksi buku dan bahan bacaan menjadi bertambah banyak. Sedangkan sisi negatifnya adalah pengeluaran untuk membeli bahan bacaan tidak iringi dengan penambahan pengetahuan karena keinginan membaca yang sedang surut. Bagi saya membeli dan memiliki buku adalah satu kebahagiaan, membaca adalah kebahagiaan lain, mengamini perkataan dosen saya,”Beli buku aja, bacanya kapan-kapan.” sebagaimana mengiyakan perkataan A. Edward Newton “Even when reading is impossible, the presence of books acquired produces such an ecstasy that the buying of more books than one can read is nothing less than the soul reaching towards infinity … we cherish books even if unread, their mere presence exudes comfort, their ready access reassurance.”
*Artikel ini pernah diterbitkan di laman bukuindie.com pada 31 Maret 2017
Be the first to reply