Buat Anak Kok Coba-Coba

Kalimat ini dulu pernah menjadi perbincangan di salah satu kelas mata kuliah linguistik yang kuikuti. Kami mendiskusikan di mana letak tanda koma pada kalimat yang menjadi sebuah jargon salah satu iklan (kalau tidak salah) obat batuk untuk anak-anak. Kalimat ini bisa menjadi multitafsir. Setidaknya ada dua tafsiran. Pertama: memberikan sesuatu kepada anak jangan coba-coba. Kedua: Membuat anak (secara biologis) kok coba-coba. Sampai saat ini pun aku jua masih belum paham cara penggunaan tanda koma yang mana untuk tafsiran yang mana. Namun pada tulisan ini aku tidak akan membahas perihal kaidah linguistik, melainkan keresahan yang kutemui pada anak-anak usia pra sekolah di masa ini.

Selama lebih dari satu tahun terakhir, aku bekerja sebagai tutor baca, tulis, hitung (Calistung). Rentang usia muridku dari umur tiga hingga tujuh tahun. Setiap pekerjaan memang memiliki tantangan dan tekanannya masing-masing. Begitu pula dalam menghadapi anak-anak, mereka adalah pribadi yang memiliki karakter dan pola asuh berbeda-beda. Ada anak yang mudah sekali menyerap materi pembelajaran, ada yang fasih dalam membaca dan menulis namun kesulitan dalam berhitung, ada yang belum bisa fokus mengikuti pembelajaran selama satu jam secara penuh karena memang usianya terlalu muda, dan ada pula yang sebenarnya secara usia sudah cukup umur untuk mengikuti pembelajaran namun memiliki kesulitan belajar(seperti sulit fokus, menggunakan logika, dan mencerna informasi yang dibaca).

Terkadang aku merasa sedih bercampur miris. Anak-anak disuruh belajar di bimbel selama satu jam oleh orang tuanya agar kelak ketika masuk sekolah dasar sudah memiliki kemampuan calistung, namun di rumah semuanya buyar oleh paparan telepon pintar yang menawarkan konten audio visual satu arah. Baru-baru ini kutemui salah satu orang tua yang menurutku “pasif dan kurang kreatif” karena tidak bisa memberikan bahan bacaan tambahan secara pribadi. Padahal di lokapasar tersedia banyak sekali pilihan buku yang sudah disesuaikan dengan umur pembacanya. Aku juga menemukan hipotesa bahwasanya ada sebagian orang tua yang cenderung malas untuk menemani anaknya bermain sambil menyelipkan unsur edukasi literasi calistung dan melatih motorik halus maupun kasar.

Semakin ke sini aku kerap menjumpai anak usia dua sampai empat tahun yang menunjukkan indikasi keterlambatan bicara (speech delay) atau gangguan wicara (pengucapan) yang membutuhkan terapi. Ada juga anak-anak yang secara usia sudah cukup umur untuk masuk sekolah dasar tapi memiliki masalah di aspek sosiologis, perilaku, dan manajemen emosi. Lebih parah lagi, aku menduga beberapa anak mengalami stunting, autism spectrum disorder(ASD), dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) Sungguh rasanya aku ingin menyalahkan pemberian gawai yang tidak bijak oleh orang tua (masa kini). Sampai suatu hari aku mencuitkan kekesalanku di twitter:

Tolong ya, kalo bikin anak tuh dipikir dulu, jangan cuma digenjot doang.

Annas Karyadi, 2023

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *