Sore itu hujan baru saja reda, hawa dingin berembus menggelitik kulitku yang tak tertutup kain. Di tengah perjalanan pulang dari meminjam buku di Soso ke rumahku di Beru, aku berhenti di seberang rumah seorang teman yang telah kukenal sejak sekolah dasar. Fetty namanya. Aku berhenti untuk memotret tenda temanten dari kejauhan. Setibanya di rumah kukirimkan gambar itu melalui fitur DM instagram dengan keterangan: tebak lokasi. Entah kenapa, ketika melewati rumah Fetty yang di halamannya baru saja dipasang tenda temanten, kepalaku dibanjiri ingatan tentang masa kanak-kanak dan sekolah kami yang amat sederhana. Dalam batinku terpikir,”Wah, teman SD-ku menikah.”
Beberapa waktu yang lalu aku memang mengetahui bahwa Fetty telah dilamar seorang lelaki (yang juga teman kami di SMP). Tapi aku tak yakin akan diundang ke acara pernikahannya, mengingat setelah lulus sekolah dasar kelekatan kami mulai memudar meski melanjutkan sekolah di SMP dan SMA yang sama. Mungkin karena kami sudah beda kelas dan lingkar pertemanan. Selain itu, pernikahan Fetty dan Edwin dihelat di masa pandemi yang menambah keyakinanku bahwa tamu yang diundang terbatas.
Singkat cerita, DM instagramku berujung undangan untuk hadir ke resepsi pernikahan Fetty dan Edwin. Keesokan harinya, sepulang bekerja, aku berangkat ke rumah Fetty melewati rute yang sama seperti ketika aku berangkat sekolah. Dulu sekolahku berada persis di depan rumah Fetty, sekarang bangunan sekolah itu sudah berganti menjadi toko. Sekolah kami telah berpindah lokasi dan infrastrukturnya telah berkembang jauh lebih baik dari zaman kami masih menjadi siswa SD. Jarak rumahku ke rumah Fetty kira-kira empat sampai lima kilometer. Sepanjang perjalanan, kukemudikan sepeda motorku dengan kecepatan rendah. Setiap jengkal jalanan dari Beru menuju Babadan adalah bukti sejarah dan kenangan bahwa aku pernah bersusah payah menuntut ilmu di sebuah sekolah sederhana nan bersahaja: SD Islam Babadan (SDI).
Sekolahku bukanlah sekolah dengan sarana prasarana lengkap layaknya sekolah favorit atau sekolah unggulan. Bangunan untuk kelas 1,2,3 dan kelas 4,5,6 terpisah jarak sekitar 850 meter. Tak ada perpustakaan dengan koleksi buku anak yang kami baca saat jam istirahat. Lapangan upacara kami adalah halaman sempit yang dipadati bocah-bocah kelas 4,5,6. Parkir sepeda kami ala kadarnya. Untuk buang air kecil kami biasa menumpang di rumah warga atau buang air di sungai. Setiap mata pelajaran olah raga kami harus berjalan cukup jauh untuk menuju lapangan sepak bola milik umum. Kebanyakan siswa SDI berasal dari keluarga pra sejahtera. Beberapa temanku putus sekolah di tengah jalan karena harus membantu ekonomi keluarganya. Sebagian besar temanku tak melanjutkan ke jenjang SMP karena kendala biaya. Hanya segelintir dari kami yang beruntung bisa mencecap pendidikan hingga perguruan tinggi.
Guru-guru kami adalah sebenar-benarnya pahlawan tanpa tanda jasa. Ketika sudah dewasa, barulah kuketahui betapa minimnya penghasilan seorang guru. Terlebih guru di sekolah swasta seperti SDI yang biaya SPP-nya terbilang murah. Mereka mencari pemasukan tambahan dengan cara masing-masing. Ada yang nyambi jadi penjahit, pedagang, petani atau membuka wartel. Meski begitu, kami didik dengan tulus sepenuh hati.
Setibanya di rumah Fetty aku sangat antusias. Sudah sewindu kami tak bertemu. Di depan aku disambut oleh ibunya yang sepertinya lupa-lupa ingat denganku.
“Nisa, Bu Ida.”, kataku.

Kulihat Fetty di pelaminan, cantik sekali. Kupeluk perempuan yang telah kukenal sejak tahun 2001 itu. Dalam pelukan singkat kami, ada ingatan-ingatan panjang tentang ratusan hari yang kami lalui bersama sebagai anak-anak, di mana masalah terbesar kami hanyalah PR Matematika. Aku akan mengenang Fetty sebagai seorang teman sekaligus musuh bebuyutan. Kami sering menghabiskan waktu bersama di jam istirahat, kami pernah menghabiskan berembar-lembar kertas buku tulis untuk dibuat kapal-kapalan kemudian dijual ke teman sekelas, kami saling bantu jika sedang kesulitan mengerjakan soal matematika, boncengan bertiga (Pak Asmungi, Fetty dan aku) ke tempat lomba antar sekolah, bahkan Fetty mau menemaniku menunggu dijemput Romoku di teras rumahnya meski sebenarnya ia harus bersiap untuk ke tempat bimbel. Agak berlebihan sebenarnya menyebut Fetty sebagai musuh bebuyutan. Fetty selalu juara satu sedangkan aku selalu juara kedua. Hanya Bundaku yang mempermasalahkan hal itu. Toh, di masa depan terbukti bahwa Fetty lebih unggul di bidang saintek dan aku lebih menyukai ilmu sosial-humaniora.
Dua puluh satu tahun kami saling mengenal, baru di acara resepsi pernikahan Fetty kami sempat berfoto berdua. Ah, saat itu aku jadi merasa sentimental. Dadaku sesak oleh rasa senang dan haru.

p.s. : Fet, meski kita tak selekat dulu, aku masih memantau instagrammu. Tetap panggil aku Nisa selamanya!
Be the first to reply