Sepanjang tiga tahun ini aku setidaknya sudah empat kali mendapat pertanyaan senada,”Kapan kamu merasa perlu ke psikolog/psikiater? Kapan kamu merasa butuh bantuan profesional?”
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, aku mau kasih disclaimer bahwa jawaban yang kuberikan adalah berdasarkan pengalaman empiris selama lebih dari tiga tahun menyandang status Orang Dengan Bipolar (ODB), sedikit ilmu yang kudapat dari ngobrol dengan psikiater dan psikolog, membaca buku-buku psikologi populer, berselancar menjelajahi situs-situs kesehatan mental di internet, unggahan akun-akun medsos yang mengampanyekan kesehatan mental, dan pengamatan terhadap WA Support Group Bipolar Care Indonesia. Nah, mari kita mulai.
Pada kasusku, aku didatangkan seorang psikolog ke rumah (waktu itu masih di rumah Bude di Jogja) bukan atas dasar keinginanku pribadi tapi atas rekomendasi sepupuku yang seorang psikolog klinis cum dosen jurusan psikologi universitas ternama di Malang. Aku lupa persisnya tanggal berapa, tapi aku ingat itu awal bulan Mei 2018, beberapa hari setelah aku wisuda. Psikologku pernah bilang kalau tanda seseorang butuh bantuan ahli adalah ketika “hal ini” sudah “mengganggu” aktivitas sehari-hari. Nah, yang terjadi padaku adalah tabiatku mengganggu/meresahkan lingkungan sosial terutama di jagat instagram dan WhatsApp. Setelah asesmen dengan psikolog besoknya aku dibawa ke psikiater. Aku menurut saja. Bahkan aku baru mempertanyakan aku ini kenapa dan apa yang membuatku harus minum obat, itu baru terjadi di bulan ke tiga kontrol rutin. Setelah itu barulah aku mencari berbagai literatur tentang bipolar.
Ketika menemukan literatur yang membahas gejala bipolar dan faktor pendukungnya, aku jadi flashback,”Oh, iya ya, aku sempat ngalamin ini itu. Bener banget. Berarti sebenernya gejala ini nggak datang ujug-ujug tapi berproses/bertahap”. Nah, pas hari aku wisuda ketemu trigger. Meledaklah emosi yang selama ini aku tahan. Selama ini aku susah mengekspresikan perasaan, terutama perkara marah. Tiap aku marah, aku cuma memendam perasaan itu. Dari sini aku belajar bahwa,”Orangnya ga pernah marah” bukan sebuah pujian. Manusia berhak marah, tapi cara mengekspresikannya harus anggun dan elegan. Waktu kecil aku pernah mengalami kekerasan verbal dan fisik, juga pernah mengalami body shaming dari temen-temen (cowok) waktu SD. Hal semacam ini (trauma masa lalu) akan ditanya juga oleh psikolog ketika asesmen awal. Maaf ya tak bleberkan kemana-mana karena menurutku hidup setelah didiagnosa memiliki mental disorder jadi kaya main puzzle. Satu hal yang perlu kamu camkan, JANGAN SELF DIAGNOSE, ada banyak macam mental disorder dan hanya profesional di bidangnya yang berhak melakukan diagnosa.
Be the first to reply