Juru Selamat

Sejak didiagnosa menderita bipolar tipe 1 sekitar tiga tahun yang lalu, aku jadi tertarik membaca buku-buku bertema psikologi atau kesehatan mental. Ini adalah caraku untuk lebih mengenali dan menyelami diriku sendiri. Sebagai seorang penyintas bipolar, tentu saja aku mengalami perubahan suasana yang kadang terjadi cukup drastis. Ketika fase manik datang, sesaat aku bisa tiba-tiba merasa sangat bersemangat, ide-ide bermunculan di kepalaku dan sulit tidur saking diselimuti oleh perasaan bahagia. Namun di lain waktu aku bisa berada di jurang depresi dan perasaanku tak kunjung membaik. Yang tinggal hanyalah rasa tak berharga, tak dicintai, malas melajutkan hidup, ingin menyakiti diri sendiri hingga dorongan untuk mengakhiri hidup.

Suatu hari ketika mentalku sedang jatuh karena ada stressor yang menyampaikan kalimat-kalimat negatif sehingga aku merasa bahwa diriku ini tidak berharga dan hanya menjadi beban keluarga, di linimasa instagram aku melihat unggahan buku berjudul Loving The Wounded Soul karya Regis Machdy. Setelah membaca blurb-nya, aku merasa harus membeli dan membaca buku ini karena cukup relevan dengan kondisi jiwaku yang “wounded“.

Mengetahui hal itu, seorang temanku membelikan buku ini sebagai kado ulang tahun. Betapa senang hatiku kala buku itu tiba di rumah. Tak perlu menunda-nunda, aku langsung membaca buku ini sampai tandas di halaman terakhir. Meski materi yang disampaikan sangat ilmiah, Regis berhasil menyampaikannya dengan sederhana, ringan dan jelas. Dari buku ini aku belajar beberapa hal seperti ciri-ciri depresi, fakor eksternal, faktor biologis, dan hasil penelitian-penelitian tentang depresi itu sendiri.

Salah satu hal yang sampai saat ini benar-benar tertanam di benakku dan terjadi di kemudian hari adalah: kondisi psikis bisa memengaruhi kondisi fisik atau biasa disebut psikosomatis. Benar saja, ketika ada stressor yang memantik perasaan tidak menyenangkan padaku, fisikku ikut melemah. Jantung berdebar, sakit kepala, nyeri ulu hati, dan rasa mual menyerangku. Aku khawatir akan relapse dan harus opname di rumah sakit jiwa. Syukur, hal yang kukhawatirkan tidak terjadi. Oleh dokter aku disarankan untuk melakukan sesi konseling dengan psikolog. Rupanya konseling dengan psikolog sangat membantu untuk mengelola emosi dan memperbaiki cara berpikirku. Buku ini tidak hanya memberi asupan pengetahuan tentang kesehatan mental-terutama depresi-saja, tapi juga mengajak pembaca supaya lebih peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Tak lama berselang, terbitlah buku  berjudul Anomali: Memoar Seorang Bipolar yang ditulis oleh Elnov, seorang penyintas bipolar. Membaca buku ini aku merasa sedang mematut diriku di depan cermin. Identik. Elnov menuturkan bagaimana ia mulai merasa ada yang “aneh” atau “salah” dengan dirinya, lalu mulai mencari bantuan profesional hingga proses penerimaan diri sebagai seorang penyintas bipolar. Buku ini menjadi semangat sekaligus penguatku dalam berjuang menghadapi hidup sebagai penyintas bipolar. Bahwa aku tidak berjuang seorang diri,, bahwa ada orang di luar sana yang menghadapi permasalahan yang  sama.

Akhir tahun lalu (2020), pikiranku kembali menyerukan rasa bosan dalam menjalani hidup. Bosan menjalani hidup bukan berarti berikiran untuk bunuh diri. Aku sudah tidak lagi memikirkan untuk menenggak racun serangga, melompat dari lantai 29 apatemen kamarku mauun menabrakkan diri ke kendaraan yang melaju kencang di jalanan. Rasanya aku cenderung tidak punya alasan dan motivasi apa pun untuk meneruskan kehidupan yang menurutku “begitu-begitu saja”. Hampir setiap hari sebelum tidur aku berdoa dan memohon pada Tuhan agar aku tidur selamanya. Di fase itu tiba-tiba akun instagram Gramedia seakan ingin “menolong” dan “membantuku” dengan mengunggah informasi pra-pesan sebuah buku berjudul Alasan untuk Tetap Hidup yang merupakan terjemahan dari Reasons to Stay Alive karya Matt Haig. Tanpa pikir panjang aku membeli buku itu dengan harapan buku itu bisa membantuku menemukan alasan-alasan untuk bertahan menjalani kehidupanku yang tak seorang pun tahu ujungnya.

Benar saja, baru membaca halaman-halaman awal aku langsung merenungi kutipan yang dicantumkan Matt Haig pada bukunya. Kutipan itu berasal dari buku berjudul A Happy Death milik Albert Camus.

“Pada akhirnya dibutuhkan keberanian yang lebih besar untuk hidup dibandingkan untuk bunuh diri.”

Mati Bahagia – Albert Camus

Buku ini benar-benar bernas karena ditulis belasan tahun setelah Matt Haig mengalami depresi itu sendiri, sehingga ia bisa membuatku percaya bahwa setelah jatuh aku pasti bisa bangkit. Selain itu, Matt Haig menyodorkan begitu banyak alasan (yang sebenarnya sederhana) untuk melanjutkan hidup. Hidupku terasa lebih baik setelah membaca buku ini. Aku jadi sadar, di sisa usiaku aku akan terus belajar mengelola fase manik dan fase depresi. Bagiku sebelum membaca buku ini fase manik memang terasa lebih mudah dikelola, namun setelah membaca buku ini aku yakin bahwa aku juga akan lihai mengelola fase depresi.

Terima kasih, para Juru Selamat!

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *