#26haribertjerita : Tujuh

Di gerbong kereta Kahuripan yang melaju dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Blitar, aku menuntaskan membaca sekitar 60-an halaman buku Reasons to Stay Alive yang ditulis Matt Haig. Setelah itu aku merogoh buku Convenience Store Woman karya Sayaka Murata yang kusimpan di booksleeve. Kubuka plastik pembungkus, lalu kubuka sekilas buku itu untuk memeriksa layout dan pemilihan jenis hurufnya enak dipandang atau tidak. Tak kalah penting, aku membaca dua halaman awal untuk memastikan terjemahannya (buku ini diterjemahkan oleh Ninuk Sulistyawati) enak dibaca. Aku punya pengalaman membaca beberapa buku yang ditulis oleh orang Jepang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun terjemahannya terasa kurang luwes.
Buku ini sudah terbit tahun lalu dan sempat ramai dibicarakan di media sosial, namun baru pada kunjunganku ke Jogja pekan lalu aku bisa membeli buku ini karena di Togamas Kotabaru sedang ada promo diskon awal bulan. Semua buku didiskon 25%. Sebelum membeli buku ini aku sempat mempertimbangkan untuk membeli buku lainnya. Tapi setelah membandingkan harga dan prioritas baca, aku memutuskan untuk membeli Convenience Store Woman dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Alasanku membeli buku Eka Kurniawan dengan judul itu adalah karena aku termasuk orang yang memilih baca buku dulu nonton film kemudian. Tahun ini film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas akan dirilis. Film ini disutradarai oleh Edwin. Nama Edwin tidak asing bagiku sebab aku tahu ia adalah sutradara film berjudul Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). Dua buku tadi kubeli dengan harga Rp99.800 saja.
Sementara kereta terus melaju mendekati kota Blitar, aku terpesona pada sampulnya yang tampak sangat estetik. Ternyata sampul itu digarap oleh sebuah biro desain dan ilustrasi bernama Orkha. Saking terpesonanya, aku sampai mencuit begini:
Cantik yak. Mungkin sesekali @bukugpu perlu bikin konten #meetthedesigner . Kayanya yang sering dinaikin cuma penulis dan editor. Padahal dari sekian banyak faktor orang (atau aku, lebih tepatnya) beli buku ya karena sampulnya.
Tak kusangka, cuitan itu menuai banyak respon cuit ulang, sukai dan komentar. Sepanjang pengalamanku mengikuti akun-akun media sosial beberapa penerbit, belum pernah aku menjumpai konten bincang-bincang proses kreatif desainer sampul. Adagium “Don’t judge a book by it’s cover” pasti menuai pro kontra. Bagiku, desainer grafis/desainer sampul punya peran penting untuk mengekstraksi isi buku dalam bentuk visual yang nantinya menarik minat pembaca untuk membeli buku tersebut. Namun ada juga buku-buku yang sebenernya bagus (isi atau muatannya), namun desain sampulnya digarap kurang maksimal.
Sebenarnya-selain desain sampul-masih banyak pertimbanganku dalam membeli buku seperti siapa penulisnya, diterbitkan penerbit mana, siapa penerjemahnya, pernah diganjar penghargaan apa, rekomendasi dari penulis lain yang sudah punya reputasi, urgensi, harga buku, dan jenis huruf yang digunakan. Tapi karena hari sudah larut dan aku butuh istirahat, kusudahi sampai di sini dulu. Selamat malam.

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *