Permasalahan perempuan memang tak ada habisnya jika dibahas satu per satu. Banyak cara untuk menyuarakan permasalahan itu, salah satunya lewat cerita fiksi sebagai mana yang dilakukan oleh Andina Dwi Fatma dalam novela berjudul Lebih Senyap dari Bisikan. Ada banyak hal yang “dibisikkan” oleh Andina melalui tokoh utama bernama Amara, khususnya perihal “menjalani kehidupan sebagai perempuan”.
Novel ini mengisahkan tentang perkawinan Amara dengan Baron. Pasangan ini telah bersama sejak kuliah, lantas nekat melangsungkan pernikahan meski tak direstui Mami Amara karena keduanya berbeda agama.
Mulanya Amara dan Baron menikmati hari-hari yang menurut mereka sempurna. Obrolan tentang anak bagi mereka tak lebih dari angan-angan semata, bukan sesuatu yang harus disegerakan.
Amara bekerja di sebuah perusahaan humas multinasional. Ketika menangani salah satu klien, ia menemukan fakta bahwa dunia menuju kehancuran dan manusia semakin sulit berbahagia. Ini membuatnya semakin enggan melahirkan jiwa tak berdosa ke bumi dan khawatir tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya.
Lima tahun setelah menjalani pernikahan yang adem ayem, mereka mulai terganggu dengan pertanyaan: Kok belum punya anak?. Saat itu hubungan Amara dan Baron juga agak renggang seolah mereka kehabisan bahan obrolan. Dari situlah program hamil bermula. Berbagai saran dari beragam sumber mereka coba. Amara bahkan sampai berhenti bekerja. Lebih banyak orang yang menyemangati Amara dari pada Baron, seolah hamil adalah sebuah pencapaian hidup yang menentukan derajat kesempurnaan seorang perempuan.
Ketika Amara mulai pasrah karena program yang dijalaninya tak kunjung membuahkan hasil, ia hamil. Di sini Andina menarasikan dengan teliti perasaan seorang perempuan yang tengah mengandung beserta perubahan biologisnya. Bagi Amara, momen paling menyakitkan saat melahirkan bukanlah ketika harus mengejan, tetapi ketika proses kontraksi dan menunggu pembukaan lengkap. Rasanya ia ingin bersujud di kaki Maminya sembari meminta maaf.
Bayi Amara terlahir dengan berat badan kurang. Angan-angan Amara tentang meng-ASI-hi meleset. Hatinya pedih tatkala Yuki lebih lahap meminum ASI perah dalam botol dibanding menyusu langsung pada payudara Amara.
Setelah kelahiran Yuki, hidup Amara berubah. Yuki menjadi prioritas utama di hidup Amara. Jangankan memiliki waktu untuk diri sendiri, mengurus rumah pun Amara sudah keteteran. Baron pun tidak begitu membantu karena disibukkan dengan pekerjaan kantor.
Beruntung, Mami datang membantu bahkan sampai mencarikan asisten rumah tangga. Untuk beberapa saat hidup terasa cukup stabil hingga suatu hari permasalahan ekonomi mengguncang rumah tangga mereka akibat kecerobohan Baron.
Usaha Amara melamar pekerjaan di sana-sini jarang membuahkan hasil karena syarat diskriminatif (contoh: belum menikah dan usia maksimal 30) dan tempat kerja yang tidak ramah untuk ibu menyusui. Sementara itu Baron justru terlihat seperti pengangguran yang luntang-lantung tak jelas.
Ketika Amara mendapat pekerjaan, Baron tidak pro aktif mengurus Yuki. Yuki justru terlihat semakin kurus, tidak seperti bayi seusianya. Mereka bertengkar dan Baron pergi begitu saja. Selepas itu ada kecelakaan yang menimpa Yuki. Hal itu membuat Amara merasa gagal menjadi ibu.
Lewat kisah Amara dan Baron, pembaca diajak untuk berpikir tentang eksistensi seorang anak di dalam pernikahan dan peran perempuan di sektor domestik . Apakah memiliki anak adalah sebuah keharusan? Apakah sudah siap secara psikologis untuk membesarkannya? Mampukah secara ekonomi memenuhi kebutuhannya sekaligus kebutuhan rumah tangga? Mengapa hamil dan melahirkan masih dianggap sebagai prasyarat menjadi “perempuan seutuhnya”? Mengapa pengasuhan anak masih dilekatkan pada perempuan saja?
Novel ini juga menyoroti tentang daya juang para perempuan. Mami Amara adalah ibu tunggal yang berprofesi sebagai bankir. Beliau mampu menjadi ibu rumah tangga yang “efisien” dan “profesional”. Semua kebutuhan Amara terpenuhi dan rumah tertata rapi. Sementara itu ada tokoh yang disebut Amara dengan nama Macan. Macan adalah sosok perempuan ceplas ceplos yang kabur dari rumah saat hendak dinikahkan dengan duda yang berusia jauh lebih tua. Bagi Macan, pernikahan tak ubahnya versi manis dari perbudakan. Ia tak ingin menikah dan lebih memilih bekerja keras agar bisa membiayai kuliahnya sendiri. Ketika perekonomian rumah tangga Amara dan Baron ada di titik terendah, Amaralah yang pontang-panting melamar pekerjaan.
Andina dengan cerdas memotret manis pahit kehidupan perempuan di zaman kiwari melalui narasinya yang mengalir jernih dan karakter-karakter yang kuat. Ia membingkai hubungan istri dengan suami, anak dengan ibu, dan sesama perempuan. Banyak referensi literatur (buku dan musik), humor segar dan selipan tren masa kini. Lewat Amara, Andina mengajak pembaca untuk merenungkan kembali tentang risiko dan tanggung jawab memiliki anak. Novel ini wajib dibaca semua orang, terutama sebelum memutuskan untuk menikah dan atau mempunyai anak.
Be the first to reply