Narasi Patriarki dari Negeri Ginseng

Barangkali sekarang Korea Selatan telah menjadi salah satu pusat industri hiburan terbesar di dunia. Namun cukup banyakkah orang-orang di luar sana yang mengetahui bahwa negeri ini menyimpan fakta-fakta kelam yang banyak merugikan kaum perempuan?

Kim Ji-yeong adalah perempuan yang lahir pada tahun 1982. Ia adalah saksi dari kuatnya praktik misogini dan patriarki di Korea Selatan. Selama 34 tahun ia telah menjalani berbagai peran sebagai perempuan: anak perempuan dalam keluarga, siswa perempuan di  sekolah dan di ruang publik, perempuan di dunia kerja, hingga menjadi perempuan yang menjalani peran sebagai anak, istri, menantu dan ibu. Setiap peran selalu memiliki tekanan yang–mau tak mau– akan membuat pembaca perempuan merasakan ketidakadilan dan menumbuhkan empati.

Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara yang terdiri dari dua perempuan dan satu saudara bungsu laki-laki membuat Ji-yeong memiliki ikatan batin yang cukup kuat dengan kakak perempuan dan ibunya. Mereka seakan saling menguatkan dalam menjalani kehidupan yang sangat patriaki dan misogini. Di bawah atap yang mereka tinggali ada sosok nenek yang sangat mengutamakan laki-laki. Ia amat bangga memiliki empat orang anak laki-laki dan mengatakan bahwa menantunya harus melahirkan dan memiliki anak laki-laki minimal dua. Hal itu membuat ibu Ji-yeong sempat merasa tertekan dan memutuskan untuk “menghapus” salah satu anak perempuannya sebelum akhirnya melahirkan seorang anak bungsu berjenis kelamin laki-laki. Pada masa itu anak perempuan seolah-olah termasuk “alasan medis” untuk dilakukan tindakan aborsi untuk mendukung kebijakan pengendalian “keluarga berencana”. Situasi yang berlangsung selama tahun 1980-an ini menimbulkan ketidakseimbangan jumlah gender yang memuncak pada awal tahun 1990.

Adik laki-laki Ji-yeong selalu mendapat perlakuan khusus dan diutamakan. Nenek akan marah jika mengetahui Ji-yeong memakan susu bubuk milik adiknya. Orang tua Ji-yeong akan memastikan anak laki-lakinya makan lebih dahulu dari pada kedua kakaknya, memakai pakaian dan memiliki barang-barang terbaik. Kadang-kadang Ji-yeong merasa diperlakukan tidak adil, namun kemudian ia beralasan bahwa ia memang seharusnya mengalah karena lebih tua dan sudah seharusnya berbagi dengan kakaknya karena mereka sama-sama perempuan. Ibu mereka selalu memuji sikap keduanya karena tidak pernah iri pada adik laki-lakinya. Karena sering dipuji mereka pun tidak pernah merasa iri.

Ibu Ji-yeong, Oh Mi-sook adalah representasi dari kerasnya kehidupan perempuan di Korea Selatan. Ketika remaja, ia memupus harapannya menjadi guru. Ia terpaksa bekerja keras untuk menyekolahkan paman-paman Kim Ji-yeong. Ketika sudah menikah, sementara harus menjaga tiga anak, merawat mertuanya yang sudah tua, dan mengurus rumah, ia masih sempat mencari pekerjaan sampingan yang bisa menghasikan uang. Meski demikian banyak hal yang dilakukannya, Oh Mi-sook seakan tak pernah mendapat pujian sampai pada akhirnya suatu hari ayah Kim Ji-yeong merasa hidupnya paling sukses di antara teman-temannya. Mendengar perkataan suaminya, Oh Mi-sook bersedekap dan tertawa,

”Aku yang mengusulkan kita membuka restoran bubur. Aku juga yang membeli apartemen ini. Selama ini anak-anak yang mengurus diri mereka sendiri. Hidupmu memang sukses, tetapi bukan atas usahamu sendiri. Jadi, bersikaplah yang baik padaku dan anak-anak.”

“Tentu saja! Tentu saja! Setengahnya berkat dirimu kau memiliki rasa hormatku, Nyonya Oh Mi-sook!”

“Setengah? Bukankah seharusnya 70:30? Aku 70, kau 30.”(hlm. 87)

*

Di sekolah, Kim Ji-yeong merasa bahwa murid perempuan adalah warga kelas dua. Anak laki-laki selalu diutamakan, entah ketika mengumpulkan tugas atau makan siang. Aturan penggunaan seragam terasa jauh lebih ketat bagi murid perempuan dibanding untuk murid laki-laki. Ketika Ji-yeong diganggu oleh murid laki-laki, pengganggunya tidak pernah mendapat hukuman yang cukup setimpal.

Ada kejadian cukup aneh ketika Ji-yeong sekolah. Di dekat sekolahnya ada seorang burberry man (sebutan untuk pria yang teanjang di balik jaket panjang dan suka membuka jaket di depan anak-anak perempuan) yang berkeliaran. Ketika seisi kelas heboh dengan kehadiran burberry man, wali kelas mereka masuk dan menghukum lima anak perempuan. Hal itu membuat anak-anak perempuan kesal dan mereka pun merencanakan untuk menangkap burberry man itu. Namun setelah menangkap dan menyeret burberry man ke kantor polisi, mereka malah diskors selama seminggu, disuruh membuat surat permintaan maaf dan dihukum membersihkan lapangan bermain serta kamar mandi. Sungguh sebuah keputusan yang terasa tidak adil.

Di SMA Kim Ji-yeong menyadari dunia ini besar dan dipenuhi orang-orang brengsek. Banyak tangan mencurigakan yang menyapu pinggul atau dada para wanita di dalam bus dan kereta bawah tanah. Ada juga bajingan-bajingan gila yang suka menempelkan diri ke paha dan punggung para wanita.

Suatu hari ketika ada kelas khusus di tempat kursus yang membuat Ji-yeong pulang lebih malam, ia diganggu oleh seorang murid laki-laki. Ketika ia meminta bantuan kepada sang ayah, yang terjadi justru ia disalahkan oleh ayahnya. Menurut ayah Ji-yeong, murid laki-laki itu mengganggunya karena kesalahan Ji-yeong sendiri. Salah Ji-yeong dalam bersikap dan berpakaian. Kata ayahnya ia harus berhati-hati, harus berpakaian pantas dan harus bersikap pantas.

*

Menjelang akhir masa kuliah, Kim Ji-yeong mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan karena jika ada perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan dan meminta rekomendasi dari pihak fakultas atau dosen selalu yang direkomendasikan adalah laki-laki.

“Perusahaan akan merasa terbebani apabila wanita terlalu pintar. Coba lihat sekarang, apakah kau tahu betapa mengintimidasinya dirimu?” (hlm. 95)

Dalam usahanya mendapatkan pekerjaan, Ji-yeong pernah lolos hingga tahap wawancara namun ia gagal karena tidak bisa memberikan jawaban yang diinginkan penanya untuk pertanyaan seperti ini,

“Anggaplah kalian pergi menemui klien di luar kantor. Tetapi  si klien terus berusaha melakukan kontak fisik. Misalnya menyentuh bahu atau paha kalian. Kalian mengerti maksudku, bukan? Lalu apa yang akan kalian lakukan?” (hlm.100)

Bukankah  pertanyaan semacam itu juga sebuah pelecehan seksual?

Ketika anaknya dihantui perasaan putus asa menjelang lulus, ibu Ji-yeong mengatakan ia harus terus berjuang meski sang ayah sempat berkata supaya Ji-yeong menjadi anak patuh dan menikah saja. Beruntung, dua hari sebelum hari kelulusan Ji-yeong mendapat kabar bahwa ia berhasil diterima oleh agensi humas yang sudah mewawancarainya beberapa waktu lalu.

Di dunia kerja pun Ji-yeong masih merasakan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Karyawan perempuan dianggap tidak bisa menyeimbangkan kewajiban professional dan perkawinan mereka, terutama setelah memiliki anak. Karyawan pria dianggap bisa bertahan lebih lama di perusahaan dibanding karyawan perempuan.  Pendapatan rekan kerja Ji-yeong juga lebih tinggi.  Korea Selatan adalah Negara yang memiliki selisih penghasilan terbesar antara pria dan wanita. Hasil survey pun menandakan bahwa Korea merupakan negara yang tidak ramah bagi pekerja perempuan. Seain itu, Ji-yeong juga harus bertahan dari pelecehan yang dilakukan oleh kliennya.

Kim Ji-yeong pernah pergi makan siang bersama seoran klien di restoran Korea, dan salah seorang perwakilan dari perusahaan klien melihat Kim Ji-yeong memesan gandoenjang (sup sayuran yang terbuat dari doenjang/fermentasi kacang kedelai) dan berkata,”Rupanya  anak-anak muda bisa makan gandoenjang juga? Apakah Nona Kim adalah gadis doenjang (istilah untuk wanita yang dianggap memerlukan perawatan mahal)? Ha ha ha.”

*

Pada tahun 2012 Kim Ji-yeong menikah dengan Jeong Dae-hyeon, seniornya di universitas dulu. Kehidupan pernikahan mereka cukup baik meski keduanya sama-sama sibuk bekerja sampai akhirnya mereka terganggu dengan pertanyaan dari keluarga besar yang menunggu-nunggu “kabar baik” . Lama kelamaan mereka risih dan terganggu dengan hal itu. Di sisi lain semua orang seakan menyalahkan Ji-yeon yang tak kunjung hamil. Dae-hyeon pun mengusulkan bagaimana jika mereka mempunyai anak untuk membuat semua orang berhenti meributkan masalah ini. Ia meyakinkan Ji-yeong bahwa ia akan membantu mengurus anaknya sebisa mungkin. Ji-yeong pun seakan mengalami dilema, apakah harus secepat ini ia memiliki anak? Bagaimana dengan kariernya nanti?

Akhirnya Ji-yeong pun hamil. Ia mengandung anak perempuan. Hal ini membuatnya cukup tertekan karena baik ibunya maupun ibu mertuanya tidak menunjukkan tanda bahwa mereka senang. Ibu Ji-yeon berkata,” Anak berikutnya mungkin laki-laki” sedangkan ibu Dae-hyeon berkata,” Tidak apa-apa”. Kata-kata mereka sama sekali tidak menghibur.

Menjelang hari persalinan, Ji-yeong bingung untuk memutuskkan apakah ia harus cuti melahirkan atau berhenti bekerja sama sekali. Hal itu membuatnya berdiskusi cukup panjang dengan Dae-hyeon tentang pengasuhan anak. Pada akhirnya, mereka memutuskan bahwa salah seorang dari mereka harus berhenti bekerja untuk menjaga anak dan sudah sewajarnya Ji-yeong-lah yang harus berhenti bekerja. Hal itu dikarenankan pekerjaan Dae-hyeon lebih stabil dan penghasilannya lebih besar. Selain itu, praktik umum selama ini adalah suami bekerja dan istri membesarkan anak. Sebuah keputusan yang tidak mengejutkan namun tetap membuat Ji-yeong merasa tertekan karena harus kehilangan media mengaktualisasi diri.

Setelah melahirkan Jeong Ji-won, Ji-yeong pun merasakan kehidupan sebagai seorang istri sekaligus ibu. Ia mengurus anak, suami dan rumah. Di situ ia baru bisa membayangkan betapa lelahnya hari-hari yang dijalani ibunya dulu. Bagi Ji-yeong masih ada dualisme dalam pendapat orang-orang tentang ibu rumah tangga. Kadang-kadang mereka meringankan situasi dengan berkata bahwa menjadi ibu rumah tangga sama dengan bersantai-santai saja di rumah. Kadang-kadang mereka justru menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang paling penting di dunia.

Ketika Ji-won berusia satu tahun dan sudah bisa untuk dititipkan di tempat penitipan anak, Ji-yeong mulai dilanda keinginan untuk bekerja kembali telebih dengan semakin bertambahnya kebutuhan hidup rumah tangganya. Namun sepertinya situsi belum juga memungkinkan dirinya untuk bekerja. Di saat seperti itu muncul kata-kata tidak menyenangkan bagi Ji-yeong ketika dirinya sedang mengasuh Ji-won di taman sambil menikmati secangkir kopi.

“Aku juga mau punya suami yang bekerja sehingga aku bisa berjalan-jalan santai sambil minum kopi.”

“Ibu-ibu kafe memang beruntung.”

“Aku tidak sudi menikah dengan wanita Korea”(hlm. 164)

Hal itu benar-benar menyakiti perasaan Ji-yeong. Ia merasa sudah meahirkan anak dengan susah payah, sudah melepaskan hidup, pekerjaan, impian dan keseluruhan dirinya untuk membesarkan anak namun malah dianggap seperti serangga.

Be the first to reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *